-->

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer Dan Bangun Ruang Ekonomi Islam


Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer


Ekonomi konvensional melihat ilmu sebagai sesuatu yang sekuler (beorientasi hanya pada kehidupan duniawi – kini dan disini), dan sama sekali tidak memasukkan Tuhan serta tanggung jawab manusia kepada Tuhan di akhirat dalam bangun pemikirannya. Oleh karena itu, ilmu ekonomi konvensional menjadi bebas nilai (posivistik). Sementara itu, ekonomi islam justru dibangun atas, atau paling tidak diwarnai oleh, prinsip – prinsip religius ( berorientasi pada kehidupan dunia – kini – dan disini – dan sekaligus kehidupan di akhirat – nanti dan disana).[1]

Dalam tataran paradigma seperti ini, ekonom – ekonom Muslim tidak menghadapi masalah perbedaan pendapat berarti. Namun, ketika mereka diminta untuk menjelaskan  apa dan bagaimanakah konsep ekonomi islam itu, mulai muncullah perbedaan pendapat. Sampai saat ini, pemikiran ekonom – ekonom muslim kontemporer dapat kita klasifikasikan setidaknya menjadi 3 mazhab, yakni:[2]

  • Mazhab Baqir as – Sadr,
  • Mazhab mainstream, dan
  • Mazhab Alternatif – kritis.

Mazhab-Mazhab dalam Pemikiran Ekonomi Islam


Mazhab Baqir as-Sadr

Mazhab ini dipelopori oleh Baqir as – Sadr, mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi ( economics ) tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Yang satu anti – Islam, yang lainnya Islam.[3]

Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, karena menurut mereka, Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang dipakai adalah Al – Qur’an:


Sungguh telah kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat – tepatnya” (QS. Al – Qamar [54] : 49).

Dengan demikian, karena segala sesuatunya sudah terukur dengan sempurna, sebenarnya Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia di dunia.Pendapat bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas juga ditolak.  Contoh : Manusia akan berhenti minum jika dahaganya sudah terpuaskan. Oleh karena itu, mazhab ini berkesimpulan bahwa keinginan yang tidak terbatas itu tidak benar sebab pada kenyataannya keinginan manusia itu terbatas.

Baca juga : 


Mazhab Baqir berpendapat bahwa masalah ekonomi  muncul karena adanya distribusi yang tidak  merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Oleh sebab itu masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tak terbatas.[4]

Oleh karena itu, menurut mereka, istilah ekonomi islam adalah istilah yang bukan hanya tidak sesuai dan salah, tetapi juga menyesatkan dan kontradiktif, karena itu penggunaan istilah ekonomi  Islam harus dihentikan. Sebagai gantinya, ditawarkan istilah baru yang berasal dari filosofi Islam, yakni iqtishad. Menurut mereka, Iqtishad  bukan sekedar terjemahan dari ekonomi. Iqtishad  berasal dari kata bahasa Arab qasd yang secara harfiah berarti “ekuilibrium” atau “keadaan sama, seimbang atau pertengahan”

Dengan ini maka semua teori yang dikembangkan oleh ekonomi konvensional ditolak dan dibuang. Sebgai gantinya, mazhab berusaha menyusun teori baru dalam ekonomi yang langsung digali dan didedukasikan dari Al – Quran dan As – Sunnah.

Tokoh dari mazhab ini selain Muhammad Baqir as – Sadr adalah Abbas Mirakhor, Baqir Al – Hasani, Kadim as – Sadr, Iraj Toutouchian, Hedayati, dan lain-lain.[5]

Mazhab Mainstream

Mazhab Mainstream berbeda pendapat dengan mazhab baqir. Mazhab kedua ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Memang benar misalnya, bahwa total permintaan dan penawaran beras di seluruh dunia berada pada titik ekuilibrium. Namun, jika kita berbicara pada tempat dan waktu tertentu, maka sangat mungking terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan ini yang sering kali terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh misalnya tentu lebih langka dibandingkan dengan thailand. Jadi keterbatasan sumber daya memang ada, bahkan diakui pula oleh islam.[6]

Dalil yang dipakai adalah:

“Dan sungguh akan kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan, harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar.”

Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah. Dalilnya:

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).”23

Dan sabda Nabi Muhammad SAW. Bahwa manusia tidak akan pernah puas. Bila diberikan emas satu lembah, ia akan meminta emas dua lembah. Bila diberikan emas dua lembah, maka ia akan meminta tiga lembah dan seterusnya sampai ia masuk kubur.[7]

Dengan demikian, pandangan mazhab ini tentang masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya pandangan ekonomi konvensional. Kelangkaan sumber dayalah yang menjadi penyebab munculnya masalah ekonomi. Bila demikian, di manakah letak perbedaan mazhab mainstream ini dengan ekonomi konvensional?

Perbedaannya terletak dalam cara menyelesaikan masalah tersebut. Dilema sumber daya yang terbatas versus keinginan yang tak terbatas memaksa manusia untuk melakukan pilihan-pilihan atas keinginannya. Kemudian manusia membuat skala prioritas pemenuhan keinginan dari yang paling penting sampai yang paling tidak penting. Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing. Manusia boleh mempertimbangkan tuntutan agama, boleh juga mengabaikannya. Dalam bahasa Al-qur’annya, pilihan dilakukan dengan “mempertuhankan hawa nafsunya.” Tetapi dalam ekonomi islami, keputusan pilihan ini tidak dapat dilakukan semaunya saja. Perilaku manusia dalam setiap aspek kehidupannya-termasuk ekonomi-selalu dipandu oleh Allah lewat Al-qur’an dan Sunnah.[8]

Tokoh-tokoh mazhab ini diataranya M. Umer Chapra, M.A. Mannan, M.Nejatullah Siddiqi, dan lain-lain. Mayoritas bekerja di Islamic Development Bank (IDB). Yang memiliki dukungan dana dan akses ke berbagai negara sehingga penyebaran pemikirannya dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Mereka adalah para doktor di bidang ekonomi yang belajar (dan ada juga yang mengajar) di universitas-universitas barat. Oleh karena itu, mazhab ini tidak pernah membuang sekaligus teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah.[9]

Umer Chapra misalnya berpendapat bahwa usaha mengembangkan ekonomi islami bukan berarti memusnahkan semua hasil analisis yang baik dan sangat berharga yang telah dicapai oleh ekonomi konvensional selama lebih dari seratus tahun terakhir.

Mazhab Alternatif-Kritis

Pelopor mazhab ini adalah Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern California), Jomo (Yale, Cambridge, Harvard, Malaya), Muhammad Arif, dan lain-lain. Mazhab ini mengkritik kedua mazhab sebelumnya. Mazhab Baqir dikritik sebagai mazhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain. Menghancurkan teori lama, kemudian menggantinya dengan teori baru. Sementara itu, mazhab mainstream dikritiknya sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta niat.[10]

Mazhab ini adalah sebuah mazhab yang kritis. Mereka berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Mereka yakin bahwa Islam pasti benar,  tetapi ekonomi Islami belum tentu benar karena ekonomi Islami adalah hasil tafsiran manusia atas Alquran dan Sunnah, sehingga nilai kebenarannya tidak mutlak. Proposisi dan teori yang diajukan oleh ekonomi islami harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional [11]


Rancang Bangun Ekonomi Islam


Prinsip-Prinsip Umum Ekonomi Islam

Walaupun pemikiran para pakar tentang ekonomi islami terbagi-bagi ke dalam tiga mazhab tersebut, namun pada dasarnya mereka setuju dengan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya. Prinsip-prinsip ini membentuk keseluruhan kerangka ekonomi islami, yang jika diibaratkan sebagai sebuah bangunan dapat divisualisasikan sebagai berikut; 
Bangunan ekonomi islami didasarkan atas lima nilai universal, yakni: Tauhid (Keimanan), ‘Adl (Keadilan), Nubuwwah (Kenabian), Khilafah (Pemerintahan), dan Ma’ad (Hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk menyusun proposisi-proposisi dan teori-teori ekonomi islami.[12]

Namun, teori yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi sistem, akan menjadikan ekonomi islami hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa memberi dampak pada kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi islami. Ketiga prinsip derivatif itu adalah multitype ownership, freedom to act, dan social justice.

Di atas semua nilai dan prinsip yang telah diuraikan diatas, dibangunlah konsep yang memayungi kesemuanya, yakni konsep akhlak. Akhlak menempati posisi puncak, karena inilah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah para Nabi, yakni untuk menyempurnakan akhlak manusia.[13]Akhlak inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya.


  • Nilai-nilai Universal : Teori Ekonomi

Nilai-nilai menjadi dasar inspirasi untuk membangun teori-teori ekonomi islami.Rinciannya;    
       
Tauhid (Keesaan Tuhan)

Tauhid merupakan fondasi ajaran islam. Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa “tiada sesuatu yang layak disembah selain Allah” karena Allah adalah pencipta alam semesta dan isinya dan sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan selruh sumber daya yang ada. Oleh karena itu, Allah adalah pemilik hakiki. Manusia hanya diberi amanah untuk “memiliki” untuk sementara waktu, sebagai ujian bagi mereka. 

Dalam islam, segala sesuatu yang ada tidak diciptakan dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan. Tujuan diciptakan manusia  adalah untuk beribadah kepada-Nya. Karena itu segala aktivitas manusia dalam hubungannya dengan alam (sumber Daya) dan manusia (muamalah) dibingkai dengan kerangka hubungan  dengan Allah. Karena kepada-Nya kita akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita, termasuk ekonomi dan bisnis.[14]

‘Adl (Keadilan)

Allah adalah pencipta segala sesuatu dan salah satu sifat-Nya adala adil. Dia tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara zalim. Manusia sebagai khalifah dimuka bumi harus memelihara hukum Allah dibumi, dan menjamin bahwa pemakaian segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia, supaya semua mendapat manfaat daripadanya secara adil dan baik.[15]

Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia berbuat adil. Dalam islam adil didefinisikan sebagai “tidak dizalimi dan tidak menzalimi.” implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu terjadi merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkelompok-kelompok dalam berbagai golongan, Golongan  yang satu akan menzalimi golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia. Masing-masing berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar daripada usaha yang dikeluarkannya.[16]

Nubuwwah (Kenabian)

Karena rahman, dan rahim dan kebijaksaan Allah, manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para nabi dan rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubah) keasal-muasal segala, Allah. Fungsi rasul adalah untuk menjadi model yang terbaik  yang harus diteladani manusia agar selamat sampai akhir zaman, Nabi Muhammad Saw. Sifat-sifat utama sag model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya, adalah sebagai berikut :

·         Siddiq (benar, jujur)
Sifat siddiq harus menjadi visi hidup setiap muslim, karena hidup kita berasal dari Yang Maha Benar, supaya kita dapat kembali pada pencipta kita, Yang Maha Benar. Dengan demikian, tujuan hidup muslim sudah terumus  dengan baik dari konsep sidiq ini, muncullah turunan khas ekonomi dan bisnis, yakni efektivitas (mencapai tujuan yang tepat, benar) dan efisien (melakukan kegiatan dengan benar, yakni menggunakan teknik dan metode yang tidak menyebabkan kemubaziran. Karena kalau mubazir berarti tidak benar).[17]
·         Amanah (tanggung jawab, kepercayaan, kredibilitas)
Amanah menjadi misi hidup setiap muslim. Karena sang benar hanya dapat kita jumpai dalam keadaan ridho dan diridhoi, bila kita menepati amanah yang telah dipikulkan kepada kita. Sifat ini akan membentuk kredibilitas yang tinggi dan sikap penu tanggung jawab pada setiap individu muslim. Kumpulan individu dengan kredibilitas dan tanggung jawab yang tinggi akan melahirkan masyarakat yang kuat, karena dilandasi oleh saling percaya antaranggotanya. Sifat amanah memainkan peranan yang fundamental dalam ekonomi dan bisnis, karena tanpa kredibilitas dan tanggung jawab, kehidupan ekonomi dan bisnis akan hancur.[18]
·         Fathanah (Kredibilitas, Kebijaksanaan, Intelektualitas)
Sifat ini dapat dipandangsebagai strategi hidup setiap muslim. Implikasi ekonomi dan bisnis dari sifat ini adalah bahwa segala aktivitas harus dilakukan dengan ilmu, kecerdasan dan pengoptimalan semua potensi akal yang ada untuk mecapai tujuan. Jujur, benar, kredibel dan bertanggung jawab saja tidak cukup dalam berekonomi dan berbisnis. Para pelaku harus pintar dan cerdik supaya usahanya efektif dan efisien, dan agar tidak menjadi korban penipuan. Bandingkan ini dengan konsep manajemen work hard vs work smart. Dalam ekonomi islam tidak ada dikotomi ini, karena konsepnya work hard dan smart.[19]
·         Tabligh (Komunikasi, Keterbukaan, Pemasaran)
Sifat ini merupakan taktik hidup muslim. Karena setiap muslim mengemban tanggung jawab dakwah yakni menyeru, mengajak, memberitahu. Sifat ini  bila sudah mendarah daging pada setiap muslim, apalagi yang bergerak dalam bidang ekonomi dan bisnis, akan menjadikan setiap pelaku ekonomi dan bisnis sebagai pemasar-pemasar yang tangguh dan lihai.[20]

Khalifah (pemerintahan)

Dalam Alquran,  Allah berfirman bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi, artinya untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi, Oleh karena itu, pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin. Nabi bersabda “setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang dipimpinnya”. Ini berlaku bagi semua manusia, baik dia sebagai individu, kepala keluarga, pemimpin masyarakat atau kepala Negara.  Nilai ini mendasari prinsip kehidupan kolektif manusia dalam islam (siapa memimpin siapa). Fungsi utamanya adalah agar menjaga keteraturan interaksi (mu’amalah) antar kelompok-kelompok termasuk dalam bidang ekonomi –agar kekacauan dalam keributan dapat dihilangkan, atau kurangi. Dalam  alquran: (yaitu) orang-orang yang jika kami kedudukan mereka dimuka bumi, niscaya mereka.. menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat.[21]

Dalam hadis lainnya nabi bersabda: ” berakhlaklah kalian seperti akhlak Allah!” Akhlak Allah dianjurkan kepada manusia lewat al-asma al-husna-Nya (nama-nama-Nya yang terbaik). Jadi misalnya jika Allah bersifat al-Waliy, maka implikasi ekonomi dari berakhlak seperti Waliy adalah mengelola dan memelihara sumber daya dengan baik supaya bermanfaat bagi manusia generasi kini dan generasi-generasi selanjutnya. Implikasi ekonomi dari berakhlak seperti al-razzaq adalah menjamin kecukupan hidup (kebutuhan dasar) bagi semua manusia. Implikasi dari al-wahhaab; membangun system jaminan sosial yang tangguh, pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai bagi masyarakat, implikasi sifat al-malik al-mulk: menginvestasikan sumber daya secara bijak supaya membawa manfaat sebesar-besarnya bagi semua. Ini  semua merupakan tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh Negara/pemerintah.[22]

Dalam islam, pemerintah memainkan peran yang kecil, tetapi sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya adalah unutk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syariah, dan untuk memastikan agar tidak ada  terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia.

Ma’ad (Hasil)

Walaupun seringkali diterjemahkan sebagai “kebangkitan” tetapi secara harfiah ma’ad berarti “kembali” karena kita semua akan kembali kepada allah. Hidup manusia bukan hanya di dunia, tetapi terus berlanjut  hingga alam setelah dunia (akhirat). Pandangan dunia yang khas dari seseorang muslim tentang dunia dan akhirat dapat dirumuskan sebagai: “Dunia adalah ladang akhirat”. Artinya, dunia adalah wahana bagi manusia untuk bekerja dan beraktivitas (beramal saleh). Namun demikian, akhirat lebih baik dari pada dunia. Karena itu Allah melarang kita untuk terikat pada dunia, sebab jika dibandingkan dengan kesenangan akhirat, kesenangan dunia tidaklah seberapa.[23]

Allah menandaskan bahwa manusia diciptakan didunia untuk berjuang. Perjuangan ini akan mendapatkan ganjaran, baik di dunia maupun diakhirat. Perbuatan baik dibalas dengan kebaikan yang berlipat-lipat, perbuatan jahat dibalas dengan hukuman yang setimpal. Karena itu, ma’ad diartikan juga sebagai imbalan/ganjaran.[24]


  • Prinsip-prinsip Derifatif : Ciri-ciri Sistem Ekonomi Islam Kelima nilai yang telah diuraikan diatas menjadi dasar inspirasi untuk menyusun teori-teori  dan proposisi ekonomi islam. Seperti sudah dibicarakan di muka, dari kelima nilai ini kita dapat menurunkan tiga prinsip derivaif yang menjadi ciri-ciri ekonomi islam. Prinsip derivatif tersebut uraiannya adalah sebagai berikut: 

Multitype ownership (kepemilikan Multijenis)

Nilai tauhid dan nilai adil melahirkan konsep multitype ownership. Dalam system kapitalis, prinsip umum kepemilikan Negara. Sedangkan dalam islam, berlaku prinsip kepemilikan multi jenis, yakni mengakui bermacam-macam bentuk kepemilikan, baik oleh swasta, Negara atau campuran.[25]

Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid: pemilik primer langit, bumi dan seisinya adalah Allah, sedangkan manusia diberi amanah untuk mengelolanya. Jadi manusia dianggap sebagai pemilik sekunder.

Freedom to act (Kebebasan bertindak/berusaha)

Ketika menjelaskan nilai nubuwwah, kita sudah sampai pada kesimpulan bahwa penerapan nilai ini akan melahirkan pribadi-pribadi yang profesioanal dan prestatif dalam segala bidang, termasuk bidang ekonomi dan bisnis. Pelaku-pelaku ekonomi dan bisnis menjadikan nabi sebagai teladan dan model dalam melakukan aktivitasnya.  Sifat-sifat nabi yang yang dijadikan model tersebut terangkum ke dalam sifat utama.[26]

Keempat nilai-nilai nubuwwah  ini bila digabungkan dengan nilai keadilan  dan nilai khalifah (good governance) akan melahirkan prinsip freedom to act pada setiap muslim, khususnya pelaku bisnis dan ekonomi.  Dengan terbentuknya freedom to act pada setiap individu muslim maka akan menciptakan mekenisme pasar yang dalam islam adalah sebuah keharusan.[27]

Social Justice (Keadilan Sosial)

Gabungan nilai khilafah dan nilai ma’ad melahirkan prinsip keadilan sosial. Dalam islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya dan yang miskin.

Semua sistem ekonomi   mempunyai tujuan yang sama yaitu menciptakan sistem perekonomian yang adil. Namun tidak semuanya sistem tersebut mampu dan secara konsisten menciptakan sistem yang adil. Sistem yang baik adalah sistem yang dengan tegas dan secara konsisten menjalankan prinsip-prinsip keadilan.

Dalam islam, keadilan diartikan dengan suka sama suka (antarraddiminkum) dan satu pihak tidak menzalimi pihak lain (latazalimun wa la tuzlamun). Islam menganut sistem mekanisme pasar, namun tidak semuanya diserahkan pada mekanisme harga. Karena segala distorsi  yang muncul dalam perekonomian tidak sepenuhnya dapat diselesaikan, maka islam membolehkan adanya beberapa intervensi, baik intervensi harga maupun intervensi pasar.


  • Akhlak : Perilaku Islam dalam Perekonomian
Sekarang kita telah memiliki landasan teori yang kuat, serta prinsip-prinsip sistem ekonomi islam yang mantap. Namun, dua hal ini belum cukup karena teori dan sistem menurut adanya manusia yang menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam teori dan sistem tersebut. Dengan kata lain, harus ada manusia yang berperilaku, berakhlak secara profesional (ihsan, itqan) dalam bidang ekonomi. Baik dia itu dalam posisi sebagai produsen, konsumen, pengusaha, karyawan atau sebagai pejabat pemerintah. Karena teori yang unggul dan sistem-sistem ekonomi yang sesuai syariah sama sekali  bukan merupakan jaminan bahwa perekonomian umat islam akan otomatis maju. Sistem ekonomi islam hanya akan memastikan bahwa tidak akan ada transaksi perekonomian yang bertentangan dengan syariah. Tetapi kinerja bisnis tergantung pada siapa yang berada di balik kegiatan ekonomi itu. oleh karenanya pelaku ekonomi dalam kerangka inidapat saja dipegang oleh umat non-muslim. Perekonomian umat islam baru dapat maju bila pola pikir dan pola laku muslimin dan muslimat sudah tekun dan profesional. Ini mungkin salah satu rahasia Nabi Muhammad Saw : “sesungguhnya aku diutus unutuk menyempurnakan akhlak .” karena akhlak (perilaku) menjadi indikator baik-buruknya manusia. Baik buruknya perilaku bisnis para pengusaha menentukan sukses-gagalnya bisnis yang dijalankan.[28]

SIMPULAN
Dalam sejarahnya ekonomi islam memiliki 3 mazahab yang memberikan pemikiran tentangan ekonomi islam, seperti yang telah kami uaraikan di atas pemikiran mazahab-mazaha tersebut saling bertentangan. Dan dengan pemikiran yang memang tidak sejalat itu dapat kami simpulakan bahwa sanya ekonomi islam adalah ekonomi yang berdiri dan berkembanganya tidak dapat kita pisahkan dengan ekonomi konvensional, meskipun sedikit banyaknya tidak berkesesuian antara ekonomi islam dan ekonomi konvensional dalam segi prinsip-prinsip yang dianutnya. Walaupun begitu ekonomi konvensional tidak bisa sepenuhnya kita buang, dalam hal ini dapat kita gunakan sebagai tolak ukur pengembang dalam proses maju dan tumbuhnya ekonomi islam. Karena sejatinya ekonomi islam unutk mempu berkembang di era moderen ini tidak bisa lepas dari jalur yang juga ekonomi konvensional jalani.

Prinsip-prinsip  yang membentuk bangun ruang ekonomi islam yang  sebelumnya telah kami jelaskan diatas adalah sebagai bentuk cara agar  terjalinnya keselarasan kehidupan sosial antara mayarakat miskin dengan kaya. Dengan menerepakan prinsip-prinsip tersebut maka bisa kita katakan, ekonomi islam akan mampu menjawab tujuan dari ekonomi islam intu sendiri, yaitu untuk memajukan kesejahteraan manusia.



Referensi :
[1] Ir. Adiwarman A. Karim, S.E, M.B.A.,M.A.E.P.,Ekonomi Mikro Islam, Jakarta : PT Grafindo Persada. hlm. 29.

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer Dan Bangun Ruang Ekonomi Islam