-->

ISTRI = TANGAN DAN KAKIKU

Cerpen yang bertajuk motivasi. cerpen sedih pertama saya, ini merupan tugas cerepn dari guru Bahasa Indonesia saya. dari pada ngangur setelah dikumpul ya mending saya posting aja di sini. cerepen Istri=Tangan dan kakiku. sedih banget cerpen ini, saya saja tidak menyangka bisa membuat cerpen sedih seprti ini. langsung baca aja..


Cacian, cercaan, dan hinaan. Tak henti-hentinya dilontarkan para warga kampung minang  kepada pak Guntoro. Entah apa yang membaut pria setengah baya itu sangat dibenci oleh para warga disekitarnya, beliau tertunduk disudut ruangan yang sudah porak porandak akibat amukan warga minag yang membencinya, ia hanya dapat memeluk secarik kain yang sudah sangat kusut yang enatah kain apa itu, sambil menangis dan mengumpulkan lembaran-lembaran kain itu. Tangisan kesakitan yang sangat tidak asing lagi ditelinga Indonesia. Luka lebab dibagian pelipisnya mulai mengeluarkan darah segar, ini bukan pertama kalinya pak Guntoro dihakimi seperti ini. Kekerasan pada rakyat lemah tidaklah lagi bisa dihindari. Karena kekerasan dewasa ini sudahlah mendarah daging dan mengalir diseluruh tubuh rakyat Indonesia. Sekali lagi pemerintah hanya tutup mata akan hal ini, bahkan mungkin bukan tutup mata malah seakan – akan tidak mau tau dan peduli dengan masalah yang sedang dihadapi masyarakat kecil. Pak Guntoro hanyalah contoh kecil dari sekian banyakknya penindasan pada rakyat lemah dinegri ini.


 Pag Guntoro adalah seorang pengemis diperempatan jalan, “menjadi pengemis bukanlah pilihan semua orang tapi apalah daya saat kaki dan tangan kananku sudahlah tak dapat  lagi difungsikan .” Ucap pak Guntoro. Pak Guntoro adalah korban tabrak lari beberapa tahun silam, dia kehilangan kaki dan tangan kanannya saat difonis dokter kalau kaki dan tangannya sudah tidak dapat difungsikan lagi dan harus diamputasi. Saat itu beliau adalah seorang sopir ojek, dan semenjak fonis yang dokter berikan ojek bukanlah lagi sumber rezeki  yang memeberikan keluarganya sesuap nasi dan segelas air putih. Dengan kondisi tubuhnya yang seperti itu beliau mulai bingung dan bimbang, rencana dia dan istrinyapun dibatalkan untuk mempunyai seorang anak. Padahal pernikan merekaa baru berlangsung 2 tahun dan itu adalah masa-masa produktif urntuk mempunyai momongan. Tapi, apalah daya pak Gun tak dapat lagi menncari nafkah. Ditambah lagi kalau dia dan istrinya mau punya anak, itu hanya akan menjadi sebuah beban tambahan untuk kehidupan mereka yang sekarang ini sudah takkaruan. 

goresantanganbangjai.blogspot.com/cerepn-cinta-istri-tangan-dan-kakiku-romantis-sedih-nyesek

“Sudah 4 bulan semenjak kejadian itu, sikap istriku berubah 1800. Dia mulai ogah-ogahan menyiapkan sarapan atau menyediakan air hangat untuk aku mandi. Sikapnya yang seperti ini sangat membaut hati dan batin ku semakin terluka. Seseorang yang seharusnya memberikan aku ketenangan, hiburan, dan kebahagiaan disaat aku susah seperti ini sudah tidak ada. Aku seperti kehilangan istri bersamaan dengan hilangnya tangan dan kakiku beberapa waktu silam, gubuk kebehagiaan ini yang sudah  2 tahun kami bina bersama bagaikan neraka yang mengerikan. Aroma yang pekat, suasana yang mencekam selalu tergambar saat aku melihat istriku yang menghampiriku dengan wajah bagaikan Shinigami. Aku takut kehilangannya, aku tak ingin dia berubah, dia adalah satu-satunya harta yang aku punya. Ku coba untuk keluar dari masalah ini, dengan berharap orang yang menabraku beberapa bulan yang lalu datang untuk memberikan uang ganti rugi atau sekedar uang berobat kepadaku.  Kutunggu dan kutunggu, orang itu tak juga datang padaku, aku tak mau menyerah. Lantas aku datang kekantor polisi dengan ditemani istri tercinta. Istriku mulai terbiasa dengan kondisi ku sekarang ini aku sangat bersyukur mendapatkan bidadari yang tuhan kirimkan dan tetapkan padaku sekarang ini. Kulihat keringat memulai bercucuran dari wajah bidadariku ini, mata yang berbinar, senyum yang mulai tergambar sangat indah diwajahnya, membautku melupakan betapa sakitnya kehilangan kaki dan tangan. 1 jam lebih istriku mendorog kursi roda yang aku duduki akhirnya kami sampai juga didepan kantor polisi,

“Abang yakin, mau melaporkan kejadian itu pada polisi?” (Tanya istrik Pak Gun)
“Iya, karena aku sudah capek dan lelah menunggu janji dan janji dia untuk mengganti uang berobat yang sudah kita bayar, tapi tak kunjung-kunjung datang..! (Jawab Pak Gun) 
“Tapi, Bang…?
“Gak papa dek, kita dipihak yang benar kenapa harus ragu da takut.”

Saat kami tiba dalam sebuah ruangan yang atmosfernya jauh berbeda dengan atmosfer yang biasanya kami rasakan dijalanan, sempat terbesit dikepalaku beginikah hidup para orang-orang yang memiliki jabatan dan harta, sesaat aku terdiam melihat keramayan yang sebelumnya tidak pernah aku lihat, mencium aroma yang sebelumnya tak pernah aku cium, dan merasakan udara yang biasanya tak pernah aku rasakan. Semua mata tertuju padaku membaut istriku mulai gelisah aku tahu dia malu denga kondisiku sekarang ini, ditamabah dengan penampilan kami bagaikan gelandangan yang sudah tidak terurus dan bagaikan tidak pernah tersentuh segarnya air bersih. Kami melangkah kearah meja yang diduduki oleh seorang laki-laki yang aku taksir umurnya sekitar 30-34 tahun, aku tidak begitu mengetahui tentang polisi tapi, instingku mengatakan kalau kami harus datang kearah dia dan mengadukan apa yang sudah terjadi padaku beberapa bulan yang lalau. Ternyata rencana kami yang sudah kami pikirkan matang-matang tidak berjalan dengan lancar, kami bahkan tidak diterima dengan baik, kami diperlakukan bagaikan kotoran yang tak berguna, kami diusir dengan sangat kasar ,tak ada rasa peduli sedikitpun dari wajah mereka. Aku bersikeras untuk masuk dan mendekati orang yang duduk dimeja itu, semakinku memberontak maka semakin kasar pula mereka memperlakukan kami.  Bahkan istriku sempat didorong oleh salah satu oknum yang ada dikantor itu. dan Kami  belum sempat untuk menyempaikan pengaduan kami. Sekali lagi aku melihat, keadilah bukanlah milik orang lemah dan miskin. Keadilan hanyalah dimiliki orang-orang yang berharta, tahta, jabtan, dan martabat tinggi. Air mata mengalir lagi dipipi istriku, aku tak tau harus berbuat apa. Bidadariku ini mungkin sudahlah sangat lelah, dia sangat terluka. Dia sudah menginagatkanku atas keinginanku untuk melaporkan kejadian itu, tapi aku malah bersikeras untuk melaporkannya. Istriku yang tercinta maafkan aku, aku tak bermaksud untuk melukai atau bahkan membuatmu malu didepan orang banyak.

Aku raih tangan istriku dan aku lihat sikunya lebab memerah akibat terjatuh, entah aku harus menyalahkan siapa. Mungkin aku yang salah!. Ini pertama kalinya aku membuat istriku terluka, hari yang takkan mungkin bisa aku lupakan ,para polisi itu bagaikan monster diamtaku, aku sudah tak peduli lagi dengan negri ini dan aku harus bertanya lagi salah siapa ini?. Para oknum polisi yang sudah dilatih dengan keras dan kedisiplianan yang tinggi melukai warga yang seharusnya mereka layani dan lindungi. Aku menyayangkan sekali perbuatan yang telah merek lakukan, mengukur seseorang hanya dengan penampilan dan tingkat kekayaan, melayani yang membayar mereka banyak dan menghiraukan orang yang tidak memberikan keuntungan sedikutpun bagi mereka. Aku tau uang adalah hal yang membuat kita bergerak, dan uang adalah hal yang membuat kita melakukan apa saja deminya. Tapi, apa wajar seorang oknum polisi tidak melayani dan bahkan tidak mau mendengarkan pengaduan dari rakyat rendahan seperti kami ini. Dan aku menyadari bahwa uang pula yang membawa kami sampai datang kekantor ini. 

Aku tak tahu harus berbuat apa lagi demi istriku, apakah aku harus merelakan dia pulang kerunah kedua orang tuannya. Mungkin itu yang harus aku lakukan karena aku sudah tak tahan lagi melihat dia terus-terusan terluka. Mungkin juga itu adalah jalan terakhirku untuk membuat dia kembali merasakan apa itu kebahagiaan.

“Hem, dek gimana kalau kamu kembali kerumah orang  tuamu saja, karena aku sudah tidak sanggup lagi melihatmu terus-terusan menderita seperti ini. Mending aku mati saja daripada tidak berguna sama sekalai dihidup mu.” (ungkap pak Gun)

“Tidak, tidak mas, kita kan melewati ini semua bersama-sama, kita harus mencari jalan keluar dari masalah ini berdua. Kamu adalaah aku dan aku adalah kamu. Kita sudah menjadi satu seiring dengan ijab dan Kabul yang dulu pernah kau ikatkan kepadaku. Kau imamku dan akan tetap menjadi imamku, kau ingin melihatku tersenyum dan bahagia, maka biarkanlah aku hidup bersamamu, selamanya. Karena kita kan menuju surganya allah bersama-sama. Kesabaran, keteguhan dan keimanan kita sekarang ini sedang diuji, dan jikalau aku mundur maka aku tidak lulus untuk ujian ini, dan aku sudah pasti tidak akan pantas massuk surganya Allah. Aku mohon ijinkan aku untuk tetap bersamamu mas.” (balas istri pak Gun)

“Jiaka itu yang kau inginkan apa yang bisa aku perbuat dan sebebarnya akupun menginginkan hal yang sama denganmu, namun aku takut kau sudah tidak tahan lagi akan hal ini, karena bersamaku adalah pilihanmu maka akan kita hadapi masalah dan cobaan ini berdua, kita akan selalu bersama dan terus bersma. Tapi, selagai kau mengginginkan hal itu.”

Wajah istriku sangat cantik pada saat itu, senyum dan air mata itu membuatku sangat bahagia. Itu air mata bahagia, aku tau hal itu terlihat dari cara dia mengasi dan dari rasa air mata itu sendiri, hangat saaaaangat hangat, air mata terindah yang pernah jatuh dimuka bumi ini. Kupeluk istriku lebih dalam dan dalam lagi, seakan aku tak ingin melepasnya, tuhan telah mengirimkan mu untukku. Padahal beberapa bulan lalu aku sempat khawatir kau akan pergi dari hidupku. Dan setelah semua kepahitan yang kita lalui bersama, aku sangat bahagia karena kamu adalah wanita yang berbeda, kau wanita sejati yang tidak akan pernah meninggalkan imamnya dan wanita yang tidak akan pernah mengkianati suaminya. Dengan sikapmu dan perbuatanmu yang sangat mulia ini aku tambah yakin kau memanglah wanita yag diciptakan dari sepasang sayap bidadari.

Hari ini istriku ingin pergi ketempat kursusnya dulu, sebenarnya aku sangat berat hati membiarkanya berkecimpung dalam dunia batik membatik lagi. Dulu dia sempat difitnah mencuri karya teman satu kursusnya. Entah itu benar atau hanya sebuah bualan teman-temannya saja, aku tak tahu itu yang aku tahu kalau istriku tak mungkin melakukan hal serendah itu. Dia ingin membuktikan kalau dia memang layak dan pantas untuk diperhitungkan dalam dunia batik. Dia sempat mendapatkan hadiah dari seorang pemegang sanggar batik ternama di negri ini, aku memang sempat bangga dengan prestasi yang dia dapatkan dulu, namun semakin dia dikenal dan menunjukkan prestasinya  maka semakin keras pula teman-teman satu kursusnya berusaha menyingkirkannya. Persaingan yang tidak sehat selalu saja terjadi dalam semua aspek persaingan apa lagi dalam bidang seni, mungkin ini adalah potret dari negri ini sesungguhnya.

Sudah hampir isya tapi istriku tak kunjung pulang, dia berjanji akan pulang kerumah sebelum adzan magrib. Tidak biasanya dia mengingkari janjinya sendiri, tak ada pirasat buruk sedikitpun yang aku rasakan. Yang aku inginkan hanyalah kepulangan istriku saja. “ctarrrr” terdengar sangat keras suara gledek yang membuat bulu kudukku berdiri, angin yang berhembus, air hujan ynag mulai turun mengeluarkan suara yang lumayan keras saat bertabrakan dengan genteng rumahku, seakan ingin menyampaikan sebauh pesan yang entah pesan apa itu. Pesan yang tak mungkin dapat dibaca atau diterjemahkan oleh siapapun dimuka bumi ini. Suara kodok yang begitu lirih terdengar dari samping rumahku, suara yang serak bagaikan sebuah tangisan hujan dimalam hari. Berbeda dengan suara kodok dihari hujan lainnya, suara itu biasanya terdengar bagaikan sebuah nyanyian kebahagian dihari hujan. Aku pun tidak dapat menalaah lantunan-lantunan syair kesedihan yang dibawakan oleh kodok-kodok itu. Tiba-tiba  pintu rumahku diketuk, awalnya terdengar sangat pelan, dan seketika menjadi sangat keras, dan suara itupun seketika pula menghilang diiringi dengan suara yang lebih keras dan itu bukanlah sebuah ketukan ketiga melainkan ada sesuatu yang terjatuh . Ku coba menjangkau kursi rodaku namun terlalu jauh, kuraih tapi tak sampai.   Ku bergerak dengan kemampuan tangan dan kaki kiri, berusaha bergerak dan menjangkau gagang pintu yang berjarak 2 meter dari tempat aku berbaring. Berharap tidak terjadi apa-apa dengan orang yang didepan itu, terlalu banyak harapan yang terlintas dalam benakku. Aku tak ingin istriku pulang terlambat dan aku tak ingin pula istriku yang terjatuh diluar sana. Semakin dekat dan semakin dekat lagi.

Ah akhirnya gagang pintu itu sudah ada ditanganku, ada rasa sedikit ragu dan takut membayangi perasaanku. Kutarik gagang pintu itu kearah bawah menghasilkan suara derit dari gesekan gagang pintu yang sudah berkarat , seirama dengan suara hujan yang lebat. “Jeclek” suara dari pintu yang aku buka, apa yang aku dapat dari perjuangan untuk membuka pintu ini, apa yang aku lihat dari perjuangan melawan sakit untuk membuka pintu ini, bukan berita dari malaikat keberuntungan, bukan pesan dari seseorang yang ku tunggu, dan bukan surprise dari kekasih yang aku harapkan, tapi  apa, apa yang aku dapat. Sosok  seorang istri yang sangat aku cinta terbaring lemas didepan pintu yang baru saja aku buka, dengan kondisi tubuh basah kuyup bukan basah akibat dari air hujan, bukan pula basah akibat keringat yang begitu banyak melainkan lumuran darah yang begitu banyak. Darah segar yang terus mengalir dibagian perut kirinya, membautku mual, sebenarnya aku takut tapi dia istriku.  Aku gapai istriku aku dekati dia, tak ada lagi rasa ngilu dilukaku yang belum sembuh total, tak ada lagi rasa mualku melihat darah yang mengalir diluka itu, dan tak ada lagi suara hujan yang aku dengar. yang aku rasakan hanya sesak, nyeri,  perih dihatiku dan yang aku dengar hanya suara detak janungku. Air mata mengalir, tangisan yang tak menghasilakn suara. Sangat sesak, kenapa, kenapa kau ambil istriku ya Allah. Apakah tangan dan kakiku ini kurang, apa itu tidak cukup untuk membuat hidupku susah dan sengsara, kenapa kau harus mengambil istriku. Jikalau  memang semua itu kurang kenapa, kenapa tidak kau ambil saja nyawaku ini. Dia adalah nafasku, dia belahan jiwaku. Kenapa, kenapa kau sangat suka melihatku menderita ya Allah. Bukakah kau pernah bilang tidak akan memberikan cobaan dan ujian diluar batas kemampuan kami. Tapi kenapa, kenapa kau melakukan hal yang jauh diluar batas kemampuanku sebagai seorang hamba. Air mataku terus mengalir memasahi semua sisi wajahku.

Sudah  1 jam lebih aku berada didepan pintu rumahku ini, mendekap tubuh istriku yang lemas dan dingin, hujan sudah mulai reda namun nampanya mata ini tidak akan pernah berhenti menjatuhkan airnya. Kucoba panggil namanya berkali-kali, kucoba, terus kucoba tak  tak ada jawaban yang aku dapatkan dari mulut indahnya itu. Tak ada lagi senyum yang dapat aku lihat dari mulut itu, tak ada lagi perkataan yang indah dan manis dari mulut itu. 

Sunyi sangat sunyi sekali malam ini, dia yang biasanya membuat malam-malamku sangat singkat dan begitu cepat berlalu, dia yang biasanya membuat malam-malamku berwana, kini tidak lagi bisa membuat malam-malamku selalu seperti itu. Dia hanya bisa terbaring dipangkuanku, dia hanya bisa diam dipangkuanku. Kenapaaaaaaaa, kau begitu cepat meninggalkanku. Aku benci perpisahan, aku benci kehilangan, dan aku benciiiii semua kebodohan ini. Padahal kau baru saja memintaku untuk membiarkanmu tetap bersamaku, padahal kau yang meminta, kenapa kau meninggalkanku. Kau adalah kaki dan tanganku.

Pisau ini, kenapa, kenapa pisau ini bisa berada ditubuhmu. Apa yang bisa aku perbuat, ini adalah bukti yang sangat kuat kalau istriku dibunuh. Apa aku harus pergi ke kantor polisi itu lagi, apa aku harus mengulang hal bodoh  yang dulu pernah aku lakuakan dikanotr itu. Hahhhh tidak mungkin, aku pernah diusir, dipermalukan, dan dihina disana. Aku tidak memiliki banyak uang untuk melaporkan ini dan aku bukan orang yang mempunyai banyak uang untuk membayar seorang pengacara agar membelaku. Nasib orang rendahan dan miskin ya seperti ini, hanya bisa menerima semuanya dengan lapang dada walau sakit, walu perih, dan walau harus terus menerus diperlakukan bagaikan sampah masyarakat. Itulah nasib orang yang tidak memiliki tahta dinegri ini.”

Sepertinya pak Guntoro semalaman suntuk berada didepan pintu rumahnya, dengan memeluk jasat istrinya yang sudah mulai kaku. Terlihat  beberapa warga sudah bergerombolan didekat rumah pak Gun. Mereka hanya bisa menerka-nerka apa yang terjadi dengan pak Guntoro dan istrinya. Yang dapat disimpulakan dari pemandangan itu adalah istri pak Gun telah meninggal dunia. Selebinya tak dapat disimpulan dengan hanya melihat dan merasakan pemandangan ini. Pak Gun terlihat sangat lelah matanya membengkak akibat terus-terusan menangis. Ada beberapa warga mencoba mendekatinya karena simpati, namun pak Guntoro sama sekali tidak merespon rasa simpatik warga itu dengan baik. Dia malah marah dan berteriak sambil menodongkan pisau yang sedang dia pegang. “ Jangan ada yang mendekatiku, istriku sedang tidur. Dia sangat lelah karena dia pulang terlambat tadi malam jadi jangan berisik dan ganggu kami” teriak pak Gun.

Terlihat sangat jelas kalau warga yang ada disitu sangat cemas dan khawatir dengan kondisi pak Gun, di tambah dengan prilaku pak  Gun yang tidak wajar, mungkin itu akibat dia shok dan tidak terima kalau istrinya telah tiada, sangat malang, kejiwaannya sedang terganggu, beban yang pak Gun tanggungpun terlalu besar untuknya. Baru beberapa bulan lalu dia terpukul akibat kehilangan kaki dan tangannya. Kini  dia ditimpa masalah yang lebih basar lagi yaitu kehilangan istrinya. Dua orang  warga berusaha mendekatinya lagi, berusa menenagkan dan membuat emosinya stabil. Sudah sangat dekat dan salah satu dari warga yang mendekat mejangkau dan berusaha menggapai istrinya pak Gun, dengan maksud ingin membantu untuk mengebumikannya. Namun, pak Gun yang emosi dan kejiawaannya yang sedang tidak stabil merasa terusik dengan prilaku warga yang ingin melepaskan istrinya dari dekapannya. Dia mulai berontak tak terkendali dan berkali-kali mengibaskan pisau yang dia pegang, beberapa kibassan dapat dihindari oleh 2 warga itu. Namun kibasan yang bigitu cepat tidak dapat terihindari dan terelakkan oleh  salah itu dari warga yang mendekat, sehingga menegenai pipi bagian kanan warga itu. Dia terjatuh dan tersungkur dengan luka dipipinya.

Seketika itu rasa simpatik warga berubah menjadi amarah yang tak dapat terkendalikan lagi, semua warga bergerak untuk melumpuhkan pak Guntoro, pisau yang dipegang pak Guntoro berhasil direbuat oleh salah satu warga yang sedang terbakar amarah itu, dan pak Guntoro berhasil dilumpuhkan, pak Gun terus menerus  berontak ingin melepaskan diri namun warga minang sudah memasukannya kedalam rumah. Dan istrinya sesegera mungkin diambil dan langsung diurus untuk dikebumikan.

Setelah pemakaman istrinya beberapa minggu yang lalu kondisi pak Gun semakin memburuk, dia terus-terusan mengurung diri dirumah, dia tidak lagi melakukan pekerjaan yang dia rahasiakan dari istrinya yaitu mengemis diperempatan jalan, sudah tidak ada lagi ambisi untuk hidup dimatanya, sudah tidak ada lagi kilauan yang biasanya terpancar dari matanya, dan sudah tidak ada lagi kebahgiaan dalam raut wajahnya.

Warga yang kesal terus-terusan menganiyayanya, menindas membuli dan menghinanya. Pak Gun menjadi pelampiasan  para warga yang tidak menerima keberadaannya dikampung itu. Pak Gun bagaikan Boneka pelampiasan, warga kampunya terus-terusan berusaha mengusirnya. Membuat rumahya porak-poranda.

Suatu ketika,  salah satu warga mengambil baju daster yang selalu  dipeluk erat oleh pak Gun, dirusak  dan disobek-sobek dengan kasarnya, lalu dihamburkan diatas kepala pak Gun. Pak Gun hanya bisa menangis sambil mengumpulkan sobekan-sobekan  baju peninggaalan istri yang sangat ia cintai itu. Dia tidak melawan sedikitpun karena dia sudah pasrah dan bosan akan kejamnya dunia ini.  Jikalau  ia melawan untuk menyelamatkan diripun itu percuma karena hidup sudah tidak lagi berarti baginya. Dia hanya diam merasakan tendangan yang bertubi-tubi dari warga yang baru saja merusak baju almarhum itrinya,  pak Gun tetap diam merasakan tendangan yang kesekian kalinya dilayangkan oleh warga bejat tu kepadanya.  Tidak puas dengan tendangannya warga hina itu berusaha membangunkan pak Gun dengan memengang kerah bajunya dan seketika itu ia melepaskan bugem kerasnya dibagian hidung pak Gun. Seketika itu pula pak Gun terlontar beberapa centi dari mahluk bejat itu, hidungnya menegeluarkan darah segar yang begitu banyak. Mungkin itu adalah pukulan yang sangat sakit yang harus pak Gun dapatkan diakhir hidupnya, namun tidak sesakit ketika ia kehilangan istrinya dan ada rasa kepuasan tersendiri dari pukualan yang pak Gun rasakan itu, karena itu adalah puncak penderitaan  dan akan berakhir seiring dengan hembusan nafas terakhirnya.

_Selesai _

 (Bang Jai)®                         

ISTRI = TANGAN DAN KAKIKU