-->

Pengertian Hiwalah dan Kafalah [Lengkap]

Pengertian Hiwalah : Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikannya, yang dimaksud dengan hiwalah ialah memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berhutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban.

Pengertian Kafalah : Menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan kafalah yaitu yang sebagaimana dijelaskan oleh para ulama yaitu menurut Mazhab Maliki “ orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda.



source : Googloe.com

Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya, anatar lain sebagai berikut:

  1. Menurut Hanafiyah adalah memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab.
  2. Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah adalah pernikahan hutang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain.
  3. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain.
  4. Muhammad Syaitha al-Dimyati berpendapat bahwa hiwalah adalah akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.


Dasar Hukum Hiwalah

“Dari Abu Hurairah r.a Bersabda Rasulullah saw. Menunda-nunda pembayaran bagi bagi orang yang telah mampu adalah suatu kelaziman, apabila salah seorang di antaramu diminta untuk dialihkan pembayaran hutangnya kepada yang berkemampuan maka terimalah” (HR.Bukhari Muslim).


Rukun dan Syarat Hiwalah


Menurut Hanafiah, rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan Kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah, Syarat-syarat hiwalah menurut hanafiah ialah.

  1. Orang yang memindahkan utang adalah orang yang berakal, maka batal hiwalah yang dilakkukan muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
  2. Orang yang menerima hiwalah adalah orang yang berakal, maka batal hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
  3. Orang yang dihiwalahkan juga harus orang berakal dan disyaratkan pula dia meridhainya.
  4. Adanya hutang muhil kepada muhal alaih.

Menurut Syafi’iyah , rukun hiwalah itu ada empat, sebagai berikut:

  1. Muhil
  2. Muhtal
  3. Muhal’alaih
  4. Shighat, hiwalah.

Sementara itu, syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai berikut :

  1. Relanya muhil dan muhal tanpa muhal’alaih jadi yang harus rela itu muhil dan muhal’alaih. Bagi muhal ‘alaih rela mmaupun tidak rela, tidak akan mempengaruhi kesalahan hiwalah. Ada juga yang mengatakan bahwa muhal tidak disyaratkan rela, yang harus rela adalah muhil.
  2. Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitasnya.
  3. Stabilnya muhal’alaih, maka penghiwalahan kepada seoran yang tidak mampu membayar hutang adalah batal.
  4. Hak tersebut diketahui secara jelas.

Beban Muhil Setelah Hiwalah

Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur, Andai kata muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.

Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal ternyata muhal’alaih orang fakir yang tidak memiliki segala apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil.

Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh lagi kepada muhil.

Abu Hanifah, Syairh, dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang mengutangkan (muhal) kembali kepada muhil untuk menagihnya.

Aplikasi Hiwalah dalam LKS adalah:
Factoring atau anjak piutang, yaitu nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piuang itu kepada bank, lalu bank membayar piutang piutang tersebut, kemudian bank menagihnya dari pihak ketiga itu.


Pengertian Kafalah Menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan kafalah yaitu yang sebagaimana dijelaskan oleh para ulama yaitu menurut Mazhab Maliki “ orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda.

 

Sedangkan menurut ulama-ulama lainnya, sebagi berikut :

  • Menurut Mazhab Hanafi memiliki 2 arti yaitu menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam penagihan, dengan jiwa, utang, atau zat benda. Yang kedua yaitu menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam pokok (asal) utang.
  • Menurut Mazhab Hanbali bahwa yang dimaksud kafalah adalah iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekelan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak.
  • Menurut Mazhab Syafi’i adalah akad yang menetapkan ihtizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau yang menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya.

 

Landasan syariah

  1. Al-Qur’an
  2. Al-Hadist
  3. Ijma’ Ulama

Dasar Hukum kafalah

Kafalah disyaratkan oleh Allah swt, terbukti dengan firmannya :

“Ya’kub berkata: “ aku tidak membiarkannya pergi bersamamu, sebelum kau memberi janji yang teguh atas Allah, bahwa kamu pasti membawanya kembali kepadaku “ (Yusuf :66)

Dasar hukum al-kafalah yang kedua adalah al-Sunnah, dalam hal ini Rasullah bersabda:

“Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar” (Riwayat Abu Dawud)

“Bahwaa Nabi Saw, pernah menjamin sepuluh dinar dari seorang laki-laki yang oleh penagih ditetapkan untuk menagih sampai sebulan, maka hutang sejumlah itu dibayar kepada penagih” (Riwayat Ibnu Majah)

“Bahwa Nabi Saw, ttidak mau shalat mayit pada mayit yang masih punya hutang, maka berkata Abu Qatadah: “ Shalatlah atasnya ya Rasulullah, sayalah yang menaggung utangnnya kemudian Nabi menyalatinya “ (Riwayat Bukhari).

Macam-Macam Kafalah :

  • Kafalah bi an-Nafs
  • Kafalah bi al-Mal
  • Kafalah bit Taslim

Secara umum (garis besar) al kafalah dibagi menjadi 2 bagian yaitu kafalah dengan jiwa dan kafalah dengan harta.

Kafalah dengan jiwa dikenal pula dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kemestian (keharusan) pada pihak penjamin (al-kafil,al-dhamin atau al za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makfullah).

Yang kedua ialah kafalah yaitu ialah kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta.

Kafalah harta ada 3 macam, yaitu :
  1. Kafalah bi al-Dayn yaitu, kewajiban utang yang menjadi beban orang lain, dalam hadis Salamah bin Aqwa bahwa Nabi Saw tidak mau menshalatkan mayat yang mempunyai kewajiban membayar utang. 
  2. Kafalah dengan penyerahan benda yaitu kwajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang berada pada tangan orang lain.
  3. Kafalah dengan aib yaitu, maksudnya bhawa baeang yang didapat berupa harta tejual dan mendapat bahaya (cacat) karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya, maka ia (pembawa barang) sebagai jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti jika terbukti barang yang dijual adalah milik orang lain atau barang tersebut adalah barang gadai.

Rukun Dan syarat Al-Kafalah

Menurut Mazhab Hanafi, rukun al-Kafalah satu , yaitu ijab dan Kabul. Sedangkan menurut para ulama yang lainnya rukun dan syarat al-kafalah adalah sebagai berikut.

  1. Dhamin, kafil, za’im, yaitu orang yang menjamin di mana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknnya sendiri.
  2. Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin. Madmun lah disebut juga dengan mafkul lah, madmun lah disyaratkan dikenal oleh penjamin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, hal ini dilakukan demi kemudahan dan kedisplinan. 
  3. Madmun ‘anhu atau makful ‘anhu adalah orang yang berhutang. 
  4. Madmun bih atau makful bih adalah utang, barang atau orang, disyaratkan pada mafkul bih dapat diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap.
  5. Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu yang tidak berarti sementara.

Pelaksanaan al-Kafalah

Al-Kafalah dapat dilaksanakan dengan 3 bentuk, yaitu

  1. Munjaz (Tanjiz) ialah tanggungan yang ditunaikan seketika seperti seseorang berkata “Saya tanggung si fulan dan saya jamin si Fulan sekarang”. Apabila akad penanggungan itu terjadi, maka penanggungan itu mengikuti akad utang, apakah harus dibayar ketika itu, ditangguhkan, atau dicicil, kecuali disyaratkan atas penanggungan .
  2. Mu’allaq (ta’liq) yaitu menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu, seperti seseorang berkata, “ jika kamu mengutangkan pada anakku, maka aku yang akan membayarnya” atau “Jika kamu ditagih pada A, maka aku yang akan membayarnya,”
  3. Mu’aqqat (tauqit) adalah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu, sepeti ucapan seseorang, “Bila ditagih pada bulan Ramadhan, maka aku yang akan menanggung pembayaran utangmu”, menurut Mazhab Hnafi penanggungan serti ini sah, tetapi menurut Mazhab Syafi’I batal. Apabila akad telah berlangsung maka madmun lagh yang boleh menagih, kepada kafil (orang yang menanggung beban) atau kepada madmhun ‘;anhu atau makful ‘anhu (yang berutang), hal ini dijelaskan para ulama jumhur.

Berakhirnya Akad Kafalah (Jaminan terhadap Jiwa).

  1. Harta telah diserahkan
  2. Meninggalnya Makful’anhu
  3. Penyerahan benda yang ditanggung

Pembayaran Dhamin

Apabila orang yang menjamin (dhamin) memenuhi kewajibannya dengan membayar utang orang yang ia jamin, ia boleh meminta kembali kepada madhmun ‘anhu apabila pembayaran itu atas izinnya. Dalam hal ini para ulama bersepakat, namun mereka berbeda pendapat apabila penjamin membayar atau menunaikan beban orang yang ia jamin tanpa izin orang yang dijamin bebannya. Menurut al Syafi’I dan Abu Hanifah bahwa membayar hutang orang yang dijmain tanpa izin darinya adalah sunnah, dhamin tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang ia jamin (madmhun ‘anhu). Menurut Mazhab Maliki, dhamin berhak menagih kembali kepada madmhun ‘anhu.


DAFTAR ISI 

1. Apa Pengertian Hiwalah?
2. Apa Pengertian Kafalah (al-Kafalah)?


DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, H. Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Sinar Baru : Surabaya
Suhendi, H.Hendi, 2005. Fiqh Muamalah. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta
Idris, Ahmad. 1986. Fiqh Al-Syafi’iyah. Karya Indah : Yogyakarta
Antonio, Muh.Syafi’i. 2001. Bank syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani : Jakarta
Muhammad, 2000. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta UII Press

Pengertian Hiwalah dan Kafalah [Lengkap]