PEMBAHASAN MULTI AKAD [LENGKAP]
By
Daftar Pembahasan :
Pengertian Multi Akad
Macam-macam Multi Akad
Dasar Hukum Multi Akad
Batasan dan standar Multi Akad
Multi akad merupakan terjemahan dari kata Arab yaitu al-uqud al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-‘uqud al-murakkabah terdiri dari dua kata al-‘uqud (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Kaa ‘aqd secara etimologi artinya mengokohkan, meratifikasi dan mengadakan perjanjian. (Munawwir. 1997).
Uquud al Murakkabah adalah akad-akad atau berbagai akad atau beberapa akad yang disususn menjadi sepaket alur transaksi. Dalam bahasa Inggris disebut Hybrid Contract. Ada banyak akad dalam transaksi.
Sedangkan menurut istilah fikih, kata multi akad merupakan terjemahan dari kata Arab yaitu al-uqud al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-‘uqud al-murakkabah terdiri dari dua kata al-‘uqud (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Kaa ‘aqd secara etimologi artinya mengokohkan, meratifikasi dan mengadakan perjanjian (Munawwir. 1997).
Sedangkan secara terminologi ‘aqd berarti perjanjian atau ikatan yang mengakibatkan munculnya kewajiban (Ma’luf. 1986).
Menurut Wahbah az-Zuhaili (2004), ‘aqd adalah: pertalian atau perikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariah yang menetapkan adanya akibat hukum pada objek perikatan”
Kata al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti al-jam’u (mashdar), yang berarti pengumpulan atau penghimpunan (Munawwir. 1997).
Kata murakkab sendiri berasal dari kata “rakkaba-yurakkibu-tarkiban” yang mengandung arti meletakkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada yang diatas dan yang dibawah. Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fikih adalah sebagai berikut:
Ketiga pengertian ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk menjelaskan makna persis dari istilah murakkab.
Multi akad yang mutjami’ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu akad terhadap dua objek dalam satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu akad terhadap dua objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu akad yang berbeda hukum atas satu objek dengan satu imbalan, baik dalam waktu yang sama atau waktu yang berbeda.
Mutanaqidhah mengandung arti berlawanan, seperti pada contoh seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan dengan yang pertama. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar, lalu berkata lagi sesuatu itu salah. Perkataan orang ini disebut mutanaqidhah, saling berlawanan. Dikatakan mutanaqidhah karena antara satu dengan yang lainnya tidak saling mendukung, melainkan mematahkan.
Perbedaan multi akad yang mukhalifah dengan yang mutanaqidhah, mutadhadah, dan mutanafiyah terletak pada keberadaan akad masing-masing. Meskipun kata mukhtalifah lebih umum dan dapat meliputi ketiga jenis yang lainnya, namun dalam mukhtalifah meskipun berbeda tetap dapat ditemukan menurut syariat. Sedangkan untuk kategori berbeda yang ketiga mengandung adanya saling meniadakan di antara akad-akad yang membangunnya. Dari pendapat ulama diatas disimpulkan bahwa multi akad yang mutanaqidah, mutadhadah, dan mutanafiyah adalah akad-akad yang tidak boleh dihimpun menjadi satu akad. Meski demikian pandangan ulama terhadap tiga bentuk multi akad tersebut tidak seragam.
Artinya, hukum multi akad tidak bisa semata dilihat dari hukum akad-akad yang membangunnya. Bisa jadi akad-akad yang membangunnya adalah boleh ketika berdiri sendiri, namun menjadi haram ketika akad-akad itu terhimpun dalam satu transaksi. Dapat disimpulkan bahwa hukum dari multi akad belum tentu sama dengan hukum dari akad-akad yang membangunnya. Dengan kata lain, hukum akad-akad yang membangun tidak secara otomatis menjadi hukum multi akad.
Meski ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari multi akad ini adalah boleh dan hukum dari multi akad diqiyaskan dengan hukum akad yang membangunnya. Artinya setiap muammalat yang menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Ketentuan ini memberi peluang pada pembuatan model transaksi yang mengandung multi akad.
Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Pendapat ini menyangkut apakah multi akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikan. Mengenai hal ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut; membolehkan dan melarang.
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum multi akad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkannya atau membatalkannya (Hasanudin, 28 Mei 2009).
Menurut Ibnu Taimiyah, hukum asal dari segala muammalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.
Hukum asal dari syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi multi akad, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama. Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkanya yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya (Hasanudin. 28 Mei 2009).
Multi akad dilarang karena nash agama
Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad yang dilarang, yaitu multi akad jual beli (ba’i) dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan dua transaksi dalam satu transaksi dalam sebuah hadis disebutkan.
Imam asy-Syafi’i memberi contoh, jika seseorang hendak membeli rumah dengan harga seratus, maka sebenarnya akad jual beli itu tidak jelas apakah dibayar dengan seratus atau lebih. Sehingga harga dari akad jual beli itu tidak jelas, karena seratus yang diterima adalah pinjaman (‘ariyah). Sehingga penggunaan manfaat dari seratus tidak jelas, apakah dari jual beli atau pinjaman.
Ibnu al-Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, meskipun kedua akad itu jika berlaku sendiri hukumnya boleh. Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk menghindari terjerumus kepada riba yang diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan (qardh) seribu, lalu menjual barang yang bernilai delapan ratus dengan seharga seribu. Dia seolah memberi seribu dan barang seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua ribu. Disini ia memperoleh kelebihan dua ratus.
Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan, ulama juga sepakat melarang multi akad antara berbagai jual beli dan qardh dalam satu transaksi. Semua akad yang mengandung unsur jual beli dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi, seperti antara ijarah dan qardh, salam dan qardh, sharf dan qardh, dan sebagainya.
Meski penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang, namun menurut al-‘imrani tidak selamanya dilarang. Penghimpunan dua akad ini diperbolehkan apabila tidak ada syarat didalamnya dan tidak ada tujuan untuk melipatkan harga melalui qardh. Seperti seseorang yang memberikan pinjaman pada orang lain, lalu beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu kepadanya padahal ia masih dalam rentang waktu qardh tersebut. Yang demikian hukumnya boleh. Sedangkan larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi: “ dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik).
Multi akad sebagai Hillah Ribawi
Multi akad yang menjadi hilah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli ‘inah atau sebaliknya dan hilah riba fadhl.
Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa agama menetapkan seseorang yang memberikan qardh (pinjaman) agar tidak berharap dananya kembali kecuali sejumlah qardh yang diberikan, dan dilarang menetapkan tambahan atas qardh baik dengan hillah atau lainnya. Demikian pula dengan jual beli disyariatkan bagi orang yang mengharapkan memberikan kepemilikan barang dan mendapatkan harganya, dan dilarang bagi yang bertujuan riba fadhl atau riba nasa’, bukan bertujuan pada harga dan barang (Hasanudin.28 Mei 2009).
Demikian pula dengan transaksi kebalikan ‘inah juga diharamkan. Seperti seseorang menjual sesuatu dengan harga delapan puluh tunai dengan syarat ia membelinya kembali dengan harga seratus tidak, transaksi seperti ini telah menyebabkan adanya riba.
Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada zaman Nabi SAW, dimana para penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma kualitas sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo dengan tiga kilo dan seterusnya. Pratik seperti ini dilarang Nabi SAW, dan beliau mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga sendiri, begitu pula ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga sendiri.
Maksud hadis di atas, menurut Ibn al-Qayyim, adalah akad jual beli pertama dengan kedua harud dipisah. Jual beli kedua bukanlah menjadi syarat sempurnanya jual beli pertama, melainkan berdiri sendiri. Hadis diatas ditujukan agar dua akad itu dipisah, tidak saling berhubungan, apalagi saling bergantung satu dengan lainnya.
Jumhur ulama melaraang praktik multi akad ini, yakni terjadinya penghimpunan akad jual beli (mu’awadhah) dengan pinjaman (qardh) apabila dipersyaratkan. Jika transaksi multi akad ini terjadi secara tidak sengaja diperbolehkan karena tidak adanya rencana untuk melakukan qardh yang mengandung riba.
Meski demikian, sebagian ulama Malikiyah dan mayoritas ulama non-malikiyah membolehkan multi akad jenis ini. Mereka beralasan perbedaan hukum dua akad tidak menyebabkan hilangnya keabsahan akad. Dari dua pendapat ini, pendapat yang membolehkan multi akad jenis ini adalah pendapat yang unggul (Hasanudin. 28 Mei 2009). Larangan multi akad ini karena penghimpunan dua akad yang berbeda dalam syarat dan hukum menyebabkan tidak sinkronnya kewajiban dan hasil. Hal ini terjadi karena dua akad untuk satu objek dan satu waktu, sementara hukumnya berbeda. Sebagai contoh tergabungnya antara akad menghibahkan sesuatu dan menjualnya. Akad-akad yang berlawanan (mutadhadah) inilah yang dilarang dihimpun dalam satu transaksi.
Pengertian Multi Akad
Macam-macam Multi Akad
Dasar Hukum Multi Akad
Batasan dan standar Multi Akad
Multi akad merupakan terjemahan dari kata Arab yaitu al-uqud al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-‘uqud al-murakkabah terdiri dari dua kata al-‘uqud (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Kaa ‘aqd secara etimologi artinya mengokohkan, meratifikasi dan mengadakan perjanjian. (Munawwir. 1997).
Pengertian Multi Akad
Pengertian Multi dalam bahasa Indonesia berarti banyak; lebih dari satu; lebih dari dua; berlipat ganda. Dengan demikian, multi akad dalam bahasa Indonesia berarti akad berganda atau akad yang banyak, lebih dari satu.Uquud al Murakkabah adalah akad-akad atau berbagai akad atau beberapa akad yang disususn menjadi sepaket alur transaksi. Dalam bahasa Inggris disebut Hybrid Contract. Ada banyak akad dalam transaksi.
Sedangkan menurut istilah fikih, kata multi akad merupakan terjemahan dari kata Arab yaitu al-uqud al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-‘uqud al-murakkabah terdiri dari dua kata al-‘uqud (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Kaa ‘aqd secara etimologi artinya mengokohkan, meratifikasi dan mengadakan perjanjian (Munawwir. 1997).
Sedangkan secara terminologi ‘aqd berarti perjanjian atau ikatan yang mengakibatkan munculnya kewajiban (Ma’luf. 1986).
Menurut Wahbah az-Zuhaili (2004), ‘aqd adalah: pertalian atau perikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariah yang menetapkan adanya akibat hukum pada objek perikatan”
Kata al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti al-jam’u (mashdar), yang berarti pengumpulan atau penghimpunan (Munawwir. 1997).
Kata murakkab sendiri berasal dari kata “rakkaba-yurakkibu-tarkiban” yang mengandung arti meletakkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada yang diatas dan yang dibawah. Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fikih adalah sebagai berikut:
Himpunan beberapa hal, sehingga disebut dengan satu nama. Seseorang menjadikan beberapa hal menjadi satu hal (satu nama) dikatakan sebagai melakukan penggabungan (tarkib). Sesuatu yang dibuat dari dua atau beberapa bagian, sebagai kebalikan dari sesuatu yang sederhana (tunggal/basith) yang tidak memiliki bagian-bagian.Meletakkan sesuatu di atas sesuatu lain atau menggabungkan sesuatu dengan yang lainnya.
Ketiga pengertian ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk menjelaskan makna persis dari istilah murakkab.
- Pengertian pertama lebih tepat untuk digunakan karena mengandung dua hal sekaligus, yaitu terhimpunnya beberapa hal dan bersatunya beberapa hal itu.
- Meski pengertian keduanya menyatakan adanya gabungan dua atau beberapa hal, tetapi tidak menjelaskan apa dan bagaimana setelah terjadi penggabungan tersebut.
- Pengertian terakhir lebih dekat kepada pengertian etimologis, tidak menjelaskan pengertian untuk suatu istilah tertentu.
“Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih seperti jual beli, dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sharf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah dst. Sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”Sedangkan menurut Al-‘Imrani, akad murakkab adalah:
“Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad, baik secara gabungan maupun secara timbal balik, sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad.”
Macam-macam Multi Akad
Al-“Imrani membagi multi akad dalam lima macam, yaitu Al-‘uqud al-mutaqabilah, al-‘uqud al-mujtami’ah, al-‘uqud mutanaqidhah wa al-mutadhadah wa al-mutanafiyah, al’uqud al-mukhtalifah, al’uqud al-mutanajisah. Dari lima macam itu, menurutnya, dua macam yang pertama; al-‘uqud al-mutaqabilah, al-‘uqud al-mutjami’ah, adalah multi akad yang umum dipakai (Hasanudin, 28 Mei 2009).- Akad bergantung/akad bersyarat (al-‘uqud al-mutaqabilah)
- Akad terkumpul (al-‘uqud al-mutjami’ah)
Multi akad yang mutjami’ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu akad terhadap dua objek dalam satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu akad terhadap dua objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu akad yang berbeda hukum atas satu objek dengan satu imbalan, baik dalam waktu yang sama atau waktu yang berbeda.
- Akad berlawanan (al’uqud al-mutanaqidhah wa al-mutadhadah wa al—mutanafiyah)
Mutanaqidhah mengandung arti berlawanan, seperti pada contoh seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan dengan yang pertama. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar, lalu berkata lagi sesuatu itu salah. Perkataan orang ini disebut mutanaqidhah, saling berlawanan. Dikatakan mutanaqidhah karena antara satu dengan yang lainnya tidak saling mendukung, melainkan mematahkan.
- Akad berbeda (al-‘uqud al-mukhtalifah)
Perbedaan multi akad yang mukhalifah dengan yang mutanaqidhah, mutadhadah, dan mutanafiyah terletak pada keberadaan akad masing-masing. Meskipun kata mukhtalifah lebih umum dan dapat meliputi ketiga jenis yang lainnya, namun dalam mukhtalifah meskipun berbeda tetap dapat ditemukan menurut syariat. Sedangkan untuk kategori berbeda yang ketiga mengandung adanya saling meniadakan di antara akad-akad yang membangunnya. Dari pendapat ulama diatas disimpulkan bahwa multi akad yang mutanaqidah, mutadhadah, dan mutanafiyah adalah akad-akad yang tidak boleh dihimpun menjadi satu akad. Meski demikian pandangan ulama terhadap tiga bentuk multi akad tersebut tidak seragam.
- Akad sejenis (al-‘uqud al-mutajanisah)
Hukum Multi Akad
Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status hukum dari akad-akad yang membangunnya. Seperti contoh akad ba’i dan salaf yang secara jelas dinyatakan keharamannya oleh Nabi SAW akan tetapi jika kedua akad itu berdiri sendiri-sendiri, maka baik akad ba’i maupun salaf diperbolehkan. Begitu juga dengan menikahi dua wanita yang bersaudara sekaligus haram hukumnya, tetapi jika dinikahi satu-satu (tidak dimadu) hukumnya boleh.Artinya, hukum multi akad tidak bisa semata dilihat dari hukum akad-akad yang membangunnya. Bisa jadi akad-akad yang membangunnya adalah boleh ketika berdiri sendiri, namun menjadi haram ketika akad-akad itu terhimpun dalam satu transaksi. Dapat disimpulkan bahwa hukum dari multi akad belum tentu sama dengan hukum dari akad-akad yang membangunnya. Dengan kata lain, hukum akad-akad yang membangun tidak secara otomatis menjadi hukum multi akad.
Meski ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari multi akad ini adalah boleh dan hukum dari multi akad diqiyaskan dengan hukum akad yang membangunnya. Artinya setiap muammalat yang menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Ketentuan ini memberi peluang pada pembuatan model transaksi yang mengandung multi akad.
Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Pendapat ini menyangkut apakah multi akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikan. Mengenai hal ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut; membolehkan dan melarang.
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum multi akad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkannya atau membatalkannya (Hasanudin, 28 Mei 2009).
Menurut Ibnu Taimiyah, hukum asal dari segala muammalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.
Hukum asal dari syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi multi akad, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama. Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkanya yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya (Hasanudin. 28 Mei 2009).
Batasan dan Standar Multi Akad
Para ulama yang membolehkan praktik multi akad bukan berarti membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati. Karena batasan ini akan menyebabkan multi akad menjadi dilarang. Di kalangan ulama, batasan-batasan ini ada yang disepakati dan diperselisihkan. Secara umum, batasan yang disepakati oleh para ulama adalah sebagai berikut:Multi akad dilarang karena nash agama
Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad yang dilarang, yaitu multi akad jual beli (ba’i) dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan dua transaksi dalam satu transaksi dalam sebuah hadis disebutkan.
“dari Abu Hurairah R.A., Rasulullah SAW melarang jual beli dan pinjaman.”(HR Ahmad)Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu dilarang.
Imam asy-Syafi’i memberi contoh, jika seseorang hendak membeli rumah dengan harga seratus, maka sebenarnya akad jual beli itu tidak jelas apakah dibayar dengan seratus atau lebih. Sehingga harga dari akad jual beli itu tidak jelas, karena seratus yang diterima adalah pinjaman (‘ariyah). Sehingga penggunaan manfaat dari seratus tidak jelas, apakah dari jual beli atau pinjaman.
Ibnu al-Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, meskipun kedua akad itu jika berlaku sendiri hukumnya boleh. Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk menghindari terjerumus kepada riba yang diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan (qardh) seribu, lalu menjual barang yang bernilai delapan ratus dengan seharga seribu. Dia seolah memberi seribu dan barang seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua ribu. Disini ia memperoleh kelebihan dua ratus.
Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan, ulama juga sepakat melarang multi akad antara berbagai jual beli dan qardh dalam satu transaksi. Semua akad yang mengandung unsur jual beli dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi, seperti antara ijarah dan qardh, salam dan qardh, sharf dan qardh, dan sebagainya.
Meski penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang, namun menurut al-‘imrani tidak selamanya dilarang. Penghimpunan dua akad ini diperbolehkan apabila tidak ada syarat didalamnya dan tidak ada tujuan untuk melipatkan harga melalui qardh. Seperti seseorang yang memberikan pinjaman pada orang lain, lalu beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu kepadanya padahal ia masih dalam rentang waktu qardh tersebut. Yang demikian hukumnya boleh. Sedangkan larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi: “ dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik).
Multi akad sebagai Hillah Ribawi
Multi akad yang menjadi hilah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli ‘inah atau sebaliknya dan hilah riba fadhl.
- al-‘inah
Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa agama menetapkan seseorang yang memberikan qardh (pinjaman) agar tidak berharap dananya kembali kecuali sejumlah qardh yang diberikan, dan dilarang menetapkan tambahan atas qardh baik dengan hillah atau lainnya. Demikian pula dengan jual beli disyariatkan bagi orang yang mengharapkan memberikan kepemilikan barang dan mendapatkan harganya, dan dilarang bagi yang bertujuan riba fadhl atau riba nasa’, bukan bertujuan pada harga dan barang (Hasanudin.28 Mei 2009).
Demikian pula dengan transaksi kebalikan ‘inah juga diharamkan. Seperti seseorang menjual sesuatu dengan harga delapan puluh tunai dengan syarat ia membelinya kembali dengan harga seratus tidak, transaksi seperti ini telah menyebabkan adanya riba.
- Hilah riba fadhl
Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada zaman Nabi SAW, dimana para penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma kualitas sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo dengan tiga kilo dan seterusnya. Pratik seperti ini dilarang Nabi SAW, dan beliau mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga sendiri, begitu pula ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga sendiri.
Maksud hadis di atas, menurut Ibn al-Qayyim, adalah akad jual beli pertama dengan kedua harud dipisah. Jual beli kedua bukanlah menjadi syarat sempurnanya jual beli pertama, melainkan berdiri sendiri. Hadis diatas ditujukan agar dua akad itu dipisah, tidak saling berhubungan, apalagi saling bergantung satu dengan lainnya.
- Multi akad menyebabkan jatuh ke riba
- Multi akad antara akad salaf dan jual beli
Jumhur ulama melaraang praktik multi akad ini, yakni terjadinya penghimpunan akad jual beli (mu’awadhah) dengan pinjaman (qardh) apabila dipersyaratkan. Jika transaksi multi akad ini terjadi secara tidak sengaja diperbolehkan karena tidak adanya rencana untuk melakukan qardh yang mengandung riba.
- Multi akad antara qardh dan hibah kepada pemberi pinjaman (muqridh)
- Multi akad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan
Meski demikian, sebagian ulama Malikiyah dan mayoritas ulama non-malikiyah membolehkan multi akad jenis ini. Mereka beralasan perbedaan hukum dua akad tidak menyebabkan hilangnya keabsahan akad. Dari dua pendapat ini, pendapat yang membolehkan multi akad jenis ini adalah pendapat yang unggul (Hasanudin. 28 Mei 2009). Larangan multi akad ini karena penghimpunan dua akad yang berbeda dalam syarat dan hukum menyebabkan tidak sinkronnya kewajiban dan hasil. Hal ini terjadi karena dua akad untuk satu objek dan satu waktu, sementara hukumnya berbeda. Sebagai contoh tergabungnya antara akad menghibahkan sesuatu dan menjualnya. Akad-akad yang berlawanan (mutadhadah) inilah yang dilarang dihimpun dalam satu transaksi.