-->

Wali Songo


 Profil dan Kisah Singat Wali Songo
      
Keterangan Gambar   :
     
1.  Maulana Malik Ibrahim ( Makdum Ibrahim As-Samarkandy )
2.  Sunan Ampel ( Raden Rahmat )
3.  Sunan Bonang ()
4.  Sunan Giri  ( Muhammad Ainul Yakin )
5.  Sunan Kudus ( Jaffar Shadiq )
6.  Sunan Muria  ( Raden Prawoto )
7.  Sunan Kalijaga ( Raden Said )
8.  Sunan Drajat  ( Raden Qosim )
9.  Sunan Gunung Jati  ( Syarif Hidayatullah )



      Kita tentu sering mendengar kisah tentang walisongo, bukan? Ya, kisah walisongo atau kisah Sembilan wali dari jawa ini memang memiliki peranan yang sangat penting dalam proses penyebaran islam di tanah jawa secara umum dan di sebagian besar wilayah Nusantara secara khusus.. Mereka adalah tokoh-tokoh yang patut untuk kita teladani, baik dalam bidang ilmu ataupun budi pekerti dan ketaatan mereka kepada Allah SWt.. Mereka adalh tokoh-tokoh yang sangat berjasa dalam penyebaran islam di Indonesia tak heran jikalau kisah mereka menyebar diseluruh nusantara dan dijadikan sebagai bahan ajar dalam mengedukasi anak-anak bangsa, terutama dalam pendidkan yang berbasis Islam atau Madrasah.  Namun, sebelum membahas lebih detail tentang kisah walisongo ini, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu bagaimana islam masuk ke bumi pertiwi, Indonesia.


Walisongo
S
Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia
ebelum memulai kisah walisongo, mari kita mengingat kembali bagaimana agama islam masuk ke Indonesia. Menurut beberapa pendapat ahli, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13. Hal ini diyakini dengan berdirinya kerajaan bercorak islam seperti Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh. Islam dibawa oleh pedagang muslim yang melakukan interaksi dengan penduduk setempat. Ada dua pendapat para ahli yang mengatakan bahwa islam disebarkan oleh pedagang dari Arab dan pedagang dari Gujarat di India. Bahkan, menurut catatan Ma huang dari Cina, di wilayah Indonesia sudah ada para pemeluk Islam dari Tiongkok (Cina). Itu bisa dimengerti karena pada abad ke 7, Islam sudah masuk ke Cina. Ada bukti bahwa orang-orang Cina pun melakukan perdagangan ke wilayah tanah melayu.Islam masuk ke Indonesia dengan tiga tahap. Pertama masa perkenalan. Kedua masa penyebaran, dan ketiga penguatan yang ditandai dengan hadirnya negara-negara bercorak Islam. Pada berbagai tempat di wilayah Indonesia penyebaran Islam ternyata berbeda-beda. Hal tersebut akibat dari keruntuhan kerajaan Sriwijaya di Palembang pada abad ke 12. Dengan runtuhnya pengaruh Hindu di wilayah Sumatera maka kerajaan Islam dapat berdiri. Begitu pun di wilayah Jawa (Java). Setelah kematian Hayam Wuruk dan Gajah Mada, kerajaan Majapahit melemah. Terjadi perang saudara di mana-mana dan juga wilayah yang terpecah-pecah. Islam masuk dan mengakar kuat. Ini dikarenakan masyarakat tertarik dengan islam yang mengajarkan persamaan hak. Di mata Tuhan semua sama, yang membedakan mereka hanya amalnya. Ini tentu berbeda dengan ajaran agama Hindu yang membagi masyarakat dengan kasta. Kuatnya Islam di Nusantara juga karena peran serta para da’i yang gigih menyebarkan islam di wilayah Jawa, meliputi Jawa Timur, Tengah, lalu Barat. Lalu, menyebar pada Kalimantan, Maluku dan wilayah Sulawesi. Penyebaran agama islam yang paling frontal tentu saja yang terjadi di Pulau Jawa. Ini semua terjadi akibat adanya sejumlah dai’I yang dikenal dengan sebutan walisong atau sembilan wali.


A) Arti Walisongo
“Walisongo” berarti sembilan orang wali”
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Yang Tertua :

      Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
     
      Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
     
      Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
     
      Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
     
      Masyarakat awam menganggap walisongo berarti wali yang sembilan. Artinya ada sembilan wali di sekitar jawa timur yang berdakwah dan menyebarkan agama islam di masyarakat. Tapi ada beberapa pendapat ahli yang  menerjemahkan kata ‘songo’ dalam bahasa arab yang artinya mulia, ada juga yang mengambil dari bahasa jawa dari kata ‘sana’ yang berarti tempat.
Tapi, pendapat yang menarik adalah pendapat terakhir yang mengatakan bahwa walisongo berarti sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (sunan Ampel). Penulis lebih merujuk pada arti yang terakhir tersebut, dengan berpegangan pada fakta sejarah bahwa para wali tersebut bukan hanya ada di wilayah Jawa Timur, tapi juga di wilayah lain. Umumnya para wali itu datang dari jawa setelah mendapat pendidikan di pesantren yang didirikan oleh para wali di jawa.
Hubungan Kekerabatan di Antara Walisongo
Di wilayah Jawa Timur, bersamaan dengan melemahnya kekuatan Majapahit, seorang alim ulama dari Pasai bergelar Maulana Malik Ibrahim bergerak menyeberang ke wilayah Jawa. Sesampainya di wilayah tersebut,
     
      Maulana Malik Ibrahim mendirikan tempat berdagang untuk masyarakat sekitar. Dengan memberikan harga murah maka berkumpulkan para masyarakat melakukan transaksi perdagangan dengannya. Dari sebuah tempat perdagangan, Maulana Malik Ibrahim pun mendirikan pondokan agama untuk menyebarkan Islam. Beserta putranya Sunan Ampel, Maulana Malik Ibrahim menyebarkan agama di daerah Gresik (karena itu Maulana Malik Ibrahim digelari Sunan Gresik). Lalu, putranya, Raden Rahmat yang bergelar sunan Ampel mendirikan padepokan di Ampel Denta. Dua putranya sunan Drajat dan sunan Bonang juga belajar di pesantren Ampel Aenta. Sunan Ampel memiliki sepupu bernama Joko Samudro atau Raden Paku yang juga menjadi muridnya dan bergelar Sunan Giri. Sunan Giri nantinya akan mendirikan pesantren giri yang justru menelurkan banyak murid-murid yang nantinya akan menyebarkan Islam di berbagai belahan Indonesia tengah. Sunan Bonang mempunyai murid Sunan Kalijaga atau biasa disebut Sunan Kalijogo, karena terkenal dalam suatu riwayat selama 4 tahun hidup di bantaran sebuah sungai atas perintah Sunan Bonang. Sunan Kalijaga sendiri memiliki anak sunan Muria dan memiliki murid Sunan Kudus. Di antara sembilan sunan yang terkenal itu, ada satu lagi sunan yang bukan hanya sebagai penyebar agama saja, tapi juga pengendali pemerintahan, yaitu Sunan Gunung Jati. Dia dan semua sunan lainnya bersahabat, kecuali Sunan Gresik, karena telah lebih dulu mangangkat.Kisah Singkat Walisongo”. Walisongo atau Sembilan wali ini memiliki kisah yang menarik. Masing-masing tokoh memiliki peran yang unik dalam proses penyebaran islam di Indonesia. Seperti apa kisah walisongo tersebut? Berikut adalah penjelasan singkatnya.



B) Penjelsan singkat tentang Wali Songo

1.     Maulana Malik Ibrahim ( Makdum Ibrahim As-Samarkandy )


Walisongo yang pertama adalah Maulana Malik Ibrahim. Beliau diperkirakan lahir di Samarkan, Asia Tengah pada paruh awal abad ke 14. Maulana malik Ibrahim ini kadang disebut juga sebagai syekh Maghribi. Bahkan, ada juga sebagian rakyat yang menyebutnya sebagai kakek Bantal. Maulana Malik Ibrahim yang merupakan saudara kandung Maulana Ishak merupakan anak dari seorang ulama Persia, Maulana Jumadil Kubro yang diyakini juga sebagai keturunan ke-10 dari cucu Nabi Muhammad, Syayidina Husein. Pernah bermukim di Campa (sekarang Kamboja) pada 1379, beliau akhirnya meninggalkan keluarganya dan hijrah ke tanah jawa pada 1392. Tanah Jawa yang pertama kali disinggahi oleh Maulana Malik Ibrahim adalah desa Sembalo (sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, sekitar 9 km dari utara Kota Gresik). Adapun aktivitas pertama maulana Malik Ibrahim di tanah ini bukanlah berdakwah, melainkan menyediakan diri mengobati masyarakat secara gratis. Usai mendapatkan hati masyarakat, barulah Maulana Malik Ibrahim memulai misi dakwahnya dengan membangun sebuah pondok pesantren di Leran.
      Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
      Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Beliau bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
      Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Beliau malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
      Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
      Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, Beliau pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
      Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Beliau merangkul masyarakat kasta-bawah yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.






2.    Sunan Ampel ( Raden Rahmat )



Sunan Ampel memiliki nama kecil Raden Rahmat. Beliau lahir di Campa pada 1401 Masehi. Sunan Ampel merupakan putra tertua Maulana Malik Ibrahim. Nama Ampel sendiri diidentikan dengan nama daerah tempat beliau menyebarkan agama Islam, yakni daerah Ampel, yang kini merupakan bagian dari Surabaya.

      Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya Beliau dikenal dengan nama Raden Rahmat. Beliau lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana Beliau lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
      Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian Beliau melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
      Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu Beliau dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Beliau pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
      Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, Beliau membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula Beliau merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
      Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, Beliau hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
      Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

3.    Sunan Giri  ( Muhammad Ainul Yakin )

Sunan Giri merupakan anak dari Maulana Ishak, saudaranya Maulana Malik Ibrahim. Selama tinggal di Jawa. Sunan Giri menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel. Barulah setelah merasa cukup ilmu, beliau membangun pondok pesantren di daerah perbukitan desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dari sanalah beliau memulai misi menyebarluaskan islam.

      Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah Beliau meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
      Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Beliau sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka Beliau dijuluki Sunan Giri.
      Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
      Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Beliau diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
      Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.


Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
      Dalam keagamaan, Beliau dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Beliau juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.n

4.    Sunan Bonang ()

Sunan Bonang merupakan anak dari Sunan Ampel. Dengan demikian, Sunan Bonang ini merupakan cucu dari Maulana Malik Ibrahim. Sunan Bonang ini dilahirkan dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Mulia puteri seorang adipati di Tuban pada 1465 M di daerah Tuban. Tak hanya sebagai tempat kelahirannya saja, Tuban juga kemudian menjadi pusat penyebaran agama islam oleh Sunan Bonang.
      Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. KemudianBeliau berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
      Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
      Suatu waktu,Beliau memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu,Beliau sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah
yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
      Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
      Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya,Beliau juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Beliau  ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.


5.    Sunan Kalijaga ( Raden Said )

Sunan kalijaga memiliki nama kecil Raden Said. Beliau  dilahirkan pada 1450 Masehi. Ayahnya adipati Tuban Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Sunan Kalijaga merupakan yang paling banyak disebut di tanah Jawa, bahkan masyarakat Cirebon percaya bahwa namanya sendiri diambil dari daerah Kalijaga yang terdapat di Cirebon.
      Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Beliau  juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
      Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
      Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Beliau  ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
      Dalam dakwah, Beliau punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Beliau juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
      Beliau  sangat toleran pada budaya lokal. Beliau berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
      Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam.Beliau menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
      Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.


6.    Sunan Gunung Jati  ( Syarif Hidayatullah )


Masyarakat jawa sangat mengagumi Sunan gunung Jati. Bahkan sangat kagumnya kepada beliau, banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwaBeliau pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
      Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
      Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Beliau sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, Beliau mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
      Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
      Dalam berdakwah, Beliau menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun Beliau juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
      Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
      Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Beliau dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.


7.     Sunan Drajat  ( Raden Qosim )

Sunan Drajat merupakan anak dari Sunan Ampel. Tugas berdakwah yang pertamanya beliau lakukan di pesisir Gresik, namun Beliau kemudian terdampar di sebuah dusun Jelog (sekarang Lamongan).
      Nama kecilnya Raden Qosim. Beliau anak Sunan Ampel. Dengan demikian Beliau bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Beliau kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
      Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
      Maka Beliau menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
      Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, Beliau banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.


8.     Sunan Kudus ( Jaffar Shadiq )

Sunan Kudus merupakan murid Sunan Kalijaga. Beliau berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun hamper sama dengan pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus.
      Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Beliau putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, Beliau pun diangkat menjadi Panglima Perang
      Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian Beliau berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
      Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
      Suatu waktu, Beliau memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, Beliau sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
      Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
      Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, Beliau juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Beliau ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n


9.    Sunan Muria  ( Raden Prawoto )

Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara Kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak meniru cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam
      Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
      Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
      Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Beliau dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.



Sumber :
http://bloggersumut.net/sejarah-budaya/sejarah-sembilan-wali-walisongo-wali9
sumber image : http://abdigockil.wordpress.com/2009/12/11/cerita-wali-songo/

Wali Songo