Wali Songo
By
Keterangan Gambar :
1. Maulana
Malik Ibrahim ( Makdum Ibrahim As-Samarkandy )
2. Sunan Ampel ( Raden Rahmat )
3. Sunan
Bonang ()
4. Sunan Giri ( Muhammad Ainul Yakin )
5. Sunan Kudus ( Jaffar Shadiq )
6. Sunan Muria ( Raden Prawoto )
7. Sunan
Kalijaga ( Raden Said )
8. Sunan
Drajat ( Raden Qosim )
9. Sunan Gunung Jati ( Syarif Hidayatullah )
Kita tentu sering mendengar kisah tentang
walisongo, bukan? Ya, kisah walisongo atau kisah Sembilan wali dari jawa ini
memang memiliki peranan yang sangat penting dalam proses penyebaran islam di
tanah jawa secara umum dan di sebagian besar wilayah Nusantara secara khusus.. Mereka adalah tokoh-tokoh yang patut
untuk kita teladani, baik dalam bidang ilmu ataupun budi pekerti dan ketaatan
mereka kepada Allah SWt.. Mereka adalh tokoh-tokoh yang sangat berjasa dalam
penyebaran islam di Indonesia tak heran jikalau kisah mereka menyebar diseluruh
nusantara dan dijadikan sebagai bahan ajar dalam mengedukasi anak-anak bangsa,
terutama dalam pendidkan yang berbasis Islam atau Madrasah. Namun,
sebelum membahas lebih detail tentang kisah walisongo ini, ada baiknya kita
ketahui terlebih dahulu bagaimana islam masuk ke bumi pertiwi, Indonesia.
Walisongo
S
|
Sejarah Masuknya Islam
ke Indonesia
ebelum memulai kisah walisongo, mari kita mengingat kembali bagaimana
agama islam masuk ke Indonesia. Menurut beberapa pendapat ahli, Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke 13. Hal ini diyakini dengan berdirinya kerajaan bercorak
islam seperti Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh. Islam dibawa oleh pedagang
muslim yang melakukan interaksi dengan penduduk setempat. Ada dua pendapat para
ahli yang mengatakan bahwa islam disebarkan oleh pedagang dari Arab dan
pedagang dari Gujarat di India. Bahkan, menurut catatan Ma huang dari Cina, di
wilayah Indonesia sudah ada para pemeluk Islam dari Tiongkok (Cina). Itu bisa
dimengerti karena pada abad ke 7, Islam sudah masuk ke Cina. Ada bukti bahwa
orang-orang Cina pun melakukan perdagangan ke wilayah tanah melayu.Islam
masuk ke Indonesia dengan tiga tahap. Pertama masa perkenalan. Kedua masa
penyebaran, dan ketiga penguatan yang ditandai dengan hadirnya negara-negara
bercorak Islam. Pada berbagai tempat di wilayah Indonesia penyebaran Islam
ternyata berbeda-beda. Hal tersebut akibat dari keruntuhan kerajaan Sriwijaya
di Palembang pada abad ke 12. Dengan runtuhnya pengaruh Hindu di wilayah
Sumatera maka kerajaan Islam dapat berdiri. Begitu pun di wilayah Jawa (Java).
Setelah kematian Hayam Wuruk dan Gajah Mada, kerajaan Majapahit melemah.
Terjadi perang saudara di mana-mana dan juga wilayah yang terpecah-pecah. Islam
masuk dan mengakar kuat. Ini dikarenakan masyarakat tertarik dengan islam yang mengajarkan
persamaan hak. Di mata Tuhan semua sama, yang membedakan mereka hanya amalnya.
Ini tentu berbeda dengan ajaran agama Hindu yang membagi masyarakat dengan
kasta. Kuatnya Islam di Nusantara juga karena peran serta para da’i yang gigih
menyebarkan islam di wilayah Jawa, meliputi Jawa Timur, Tengah, lalu Barat. Lalu,
menyebar pada Kalimantan, Maluku dan wilayah Sulawesi. Penyebaran agama islam
yang paling frontal tentu saja yang terjadi di Pulau Jawa. Ini semua terjadi
akibat adanya sejumlah dai’I yang dikenal dengan sebutan walisong atau sembilan
wali.
A) Arti Walisongo
“Walisongo”
berarti sembilan orang wali”
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan
Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu
sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam
hubungan guru-murid. Yang Tertua :
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik
Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga
sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel.
Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak
Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah
sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu
meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga
pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di
Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan,
bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling
penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah
timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga
pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator
karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria
adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang
juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan
Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas
serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut
dibanding yang lain. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik
dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri
sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para
kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya
kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni
nuansa Hindu dan Budha.
Masyarakat awam menganggap
walisongo berarti wali yang sembilan. Artinya ada sembilan wali di sekitar jawa
timur yang berdakwah dan menyebarkan agama islam di masyarakat. Tapi ada
beberapa pendapat ahli yang menerjemahkan kata ‘songo’ dalam bahasa arab
yang artinya mulia, ada juga yang mengambil dari bahasa jawa dari kata ‘sana’
yang berarti tempat.
Tapi, pendapat yang menarik adalah pendapat terakhir yang mengatakan bahwa walisongo berarti sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (sunan Ampel). Penulis lebih merujuk pada arti yang terakhir tersebut, dengan berpegangan pada fakta sejarah bahwa para wali tersebut bukan hanya ada di wilayah Jawa Timur, tapi juga di wilayah lain. Umumnya para wali itu datang dari jawa setelah mendapat pendidikan di pesantren yang didirikan oleh para wali di jawa.
Hubungan Kekerabatan di Antara Walisongo Di wilayah Jawa Timur, bersamaan dengan melemahnya kekuatan Majapahit, seorang alim ulama dari Pasai bergelar Maulana Malik Ibrahim bergerak menyeberang ke wilayah Jawa. Sesampainya di wilayah tersebut,
Tapi, pendapat yang menarik adalah pendapat terakhir yang mengatakan bahwa walisongo berarti sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (sunan Ampel). Penulis lebih merujuk pada arti yang terakhir tersebut, dengan berpegangan pada fakta sejarah bahwa para wali tersebut bukan hanya ada di wilayah Jawa Timur, tapi juga di wilayah lain. Umumnya para wali itu datang dari jawa setelah mendapat pendidikan di pesantren yang didirikan oleh para wali di jawa.
Hubungan Kekerabatan di Antara Walisongo Di wilayah Jawa Timur, bersamaan dengan melemahnya kekuatan Majapahit, seorang alim ulama dari Pasai bergelar Maulana Malik Ibrahim bergerak menyeberang ke wilayah Jawa. Sesampainya di wilayah tersebut,
Maulana Malik Ibrahim mendirikan tempat berdagang untuk masyarakat
sekitar. Dengan memberikan harga murah maka berkumpulkan para masyarakat
melakukan transaksi perdagangan dengannya. Dari sebuah tempat
perdagangan, Maulana Malik Ibrahim pun mendirikan pondokan agama untuk
menyebarkan Islam. Beserta putranya Sunan Ampel, Maulana Malik Ibrahim menyebarkan agama
di daerah Gresik (karena itu Maulana Malik Ibrahim digelari Sunan Gresik).
Lalu, putranya, Raden Rahmat yang bergelar sunan Ampel mendirikan padepokan di
Ampel Denta. Dua putranya sunan Drajat dan sunan Bonang juga belajar di pesantren
Ampel Aenta. Sunan Ampel memiliki sepupu bernama Joko Samudro atau Raden Paku yang juga
menjadi muridnya dan bergelar Sunan Giri. Sunan Giri nantinya akan mendirikan pesantren giri
yang justru menelurkan banyak murid-murid yang nantinya akan menyebarkan Islam
di berbagai belahan Indonesia tengah. Sunan Bonang mempunyai murid Sunan Kalijaga atau
biasa disebut Sunan Kalijogo, karena terkenal dalam suatu riwayat selama 4
tahun hidup di bantaran sebuah sungai atas perintah Sunan Bonang. Sunan
Kalijaga sendiri memiliki anak sunan Muria dan memiliki murid Sunan Kudus. Di antara
sembilan sunan yang terkenal itu, ada satu lagi sunan yang bukan hanya sebagai
penyebar agama saja, tapi juga pengendali pemerintahan, yaitu Sunan Gunung
Jati. Dia dan semua sunan lainnya bersahabat, kecuali Sunan Gresik, karena
telah lebih dulu mangangkat. “Kisah Singkat Walisongo”. Walisongo atau Sembilan wali ini memiliki kisah yang menarik.
Masing-masing tokoh memiliki peran yang unik dalam proses penyebaran islam di
Indonesia. Seperti apa kisah walisongo tersebut? Berikut adalah penjelasan
singkatnya.
B) Penjelsan singkat tentang Wali
Songo
1. Maulana Malik Ibrahim ( Makdum Ibrahim As-Samarkandy )
Walisongo yang pertama adalah Maulana Malik Ibrahim. Beliau
diperkirakan lahir di Samarkan, Asia Tengah pada paruh awal abad ke 14. Maulana
malik Ibrahim ini kadang disebut juga sebagai syekh Maghribi. Bahkan, ada juga
sebagian rakyat yang menyebutnya sebagai kakek Bantal. Maulana Malik Ibrahim
yang merupakan saudara kandung Maulana Ishak merupakan anak dari seorang ulama
Persia, Maulana Jumadil Kubro yang diyakini juga sebagai keturunan ke-10 dari
cucu Nabi Muhammad, Syayidina Husein. Pernah bermukim di Campa (sekarang
Kamboja) pada 1379, beliau akhirnya meninggalkan keluarganya dan hijrah ke
tanah jawa pada 1392. Tanah Jawa yang pertama kali disinggahi oleh Maulana
Malik Ibrahim adalah desa Sembalo (sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan
Manyar, sekitar 9 km dari utara Kota Gresik). Adapun aktivitas pertama maulana
Malik Ibrahim di tanah ini bukanlah berdakwah, melainkan menyediakan diri
mengobati masyarakat secara gratis. Usai mendapatkan hati masyarakat, barulah
Maulana Malik Ibrahim memulai misi dakwahnya dengan membangun sebuah pondok
pesantren di Leran.
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan
lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi
versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap
As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim
kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya
Kakek Bantal. Beliau bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra
Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah
anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di
Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari
Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja,
selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Beliau malah menikahi putri raja,
yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan
Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi
dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa
meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan
bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali
yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit.
Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara
kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan
cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah.
Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati
masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, Beliau pernah diundang untuk
mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut
masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Beliau merangkul
masyarakat kasta-bawah yang
disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat
di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan
perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di
Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung
Gapura, Gresik, Jawa Timur.
2.
Sunan
Ampel ( Raden Rahmat )
Sunan Ampel memiliki nama kecil Raden Rahmat. Beliau lahir di Campa
pada 1401 Masehi. Sunan Ampel merupakan putra tertua Maulana Malik
Ibrahim. Nama Ampel sendiri diidentikan dengan nama daerah tempat beliau
menyebarkan agama Islam, yakni daerah Ampel, yang kini merupakan bagian dari
Surabaya.
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan
Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya Beliau dikenal dengan nama Raden Rahmat.
Beliau lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan
nama tempat dimana Beliau lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta,
wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada
tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke
Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang,
kemudian Beliau melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit
menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting
salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari
perkawinannya itu Beliau dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya
yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan
Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel
turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Beliau pula yang
menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit,
untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja
Majapahit, Beliau membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula Beliau
merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut
menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara.
Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri
tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan
Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya,
Beliau hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman
akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh
ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi,
tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak
berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3. Sunan
Giri ( Muhammad Ainul Yakin )
Sunan Giri
merupakan anak dari Maulana Ishak, saudaranya Maulana Malik Ibrahim. Selama
tinggal di Jawa. Sunan Giri menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel.
Barulah setelah merasa cukup ilmu, beliau membangun pondok pesantren di daerah
perbukitan desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dari sanalah beliau memulai misi
menyebarluaskan islam.
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan
Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang
menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang
pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi
Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad
Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim.
Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang
mertua. Oleh karena itulah Beliau meninggalkan keluarga isterinya berkelana
hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil
menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah
juga belajar. Beliau sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup
ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik.
Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka Beliau dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam
arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit
-konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi
keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun
berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton.
Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Beliau diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Beliau diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya,
Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan
Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang
gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate,
hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan
dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, Beliau dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam
ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Beliau juga
pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran,
lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula
Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran
Islam.n
4.
Sunan
Bonang ()
Sunan Bonang merupakan anak dari Sunan Ampel. Dengan demikian, Sunan
Bonang ini merupakan cucu dari Maulana Malik Ibrahim. Sunan Bonang ini
dilahirkan dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Mulia puteri seorang adipati di
Tuban pada 1465 M di daerah Tuban. Tak hanya sebagai tempat kelahirannya saja,
Tuban juga kemudian menjadi pusat penyebaran agama islam oleh Sunan Bonang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. KemudianBeliau
berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga
Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat
toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu
sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas
masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat
Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu
terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu,Beliau memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu,Beliau sengaja menambatkan sapinya yang
diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang
mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan
Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah
yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat
tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut
disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti
kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam
dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat
masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus.
Sebagaimana ayahnya,Beliau juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan
Demak. Beliau ikut bertempur saat Demak, di
bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya
Penangsang.
5.
Sunan
Kalijaga ( Raden Said )
Sunan kalijaga memiliki nama kecil Raden Said. Beliau dilahirkan pada 1450 Masehi. Ayahnya adipati
Tuban Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe.
Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Sunan Kalijaga
merupakan yang paling banyak disebut di tanah Jawa, bahkan masyarakat Cirebon
percaya bahwa namanya sendiri diambil dari daerah Kalijaga yang terdapat di
Cirebon.
Nama kecil Sunan Kalijaga
adalah Raden Said. Beliau juga memiliki
sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau
Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga
yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon
berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan
Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan
Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk
berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut
istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya
sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga
diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian beliau mengalami
masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Beliau ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung
Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan
salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, Beliau punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Beliau juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Beliau
sangat toleran pada
budaya lokal. Beliau berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya.
Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi.
Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam.Beliau
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana
dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang
Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton,
alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan
Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa
memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran,
Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan
Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
6. Sunan
Gunung Jati ( Syarif Hidayatullah )
Masyarakat jawa sangat mengagumi Sunan gunung Jati. Bahkan sangat
kagumnya kepada beliau, banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati.
Diantaranya adalah bahwaBeliau pernah mengalami perjalanan spiritual seperti
Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima
wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan
Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir
sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja
Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah
Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari
para ulama Mesir. Beliau sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul
berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, Beliau
mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo”
yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai
putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman
Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, Beliau menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas.
Namun Beliau juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa
jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan
ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela
penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan
Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk
hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean.
Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon
(dulu Carbon). Beliau dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar
15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
7. Sunan Drajat ( Raden Qosim
)
Sunan Drajat merupakan anak dari Sunan Ampel. Tugas berdakwah yang
pertamanya beliau lakukan di pesisir Gresik, namun Beliau kemudian terdampar di
sebuah dusun Jelog (sekarang Lamongan).
Nama kecilnya Raden Qosim. Beliau anak Sunan Ampel. Dengan demikian Beliau
bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden
Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari
ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Beliau kemudian
terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun
berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan
padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara
ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian,
cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria.
Terutama seni suluk.
Maka Beliau menggubah
sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si
buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal
sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, Beliau
banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
8. Sunan Kudus ( Jaffar Shadiq )
Sunan Kudus merupakan murid Sunan Kalijaga. Beliau berkelana ke
berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul.
Cara berdakwahnya pun hamper sama dengan pendekatan Sunan Kalijaga: sangat
toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus.
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Beliau putra pasangan Sunan Ngudung dan
Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan
Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di
Jawa. Di Kesultanan Demak, Beliau pun diangkat menjadi Panglima Perang
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian Beliau
berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga
Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat
toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu
sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas
masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati
masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal
itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, Beliau memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, Beliau sengaja menambatkan sapinya yang
diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang
mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan
Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai
sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk
menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut
disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti
kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam
dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat
masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus.
Sebagaimana ayahnya, Beliau juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan
Demak. Beliau ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
9.
Sunan
Muria ( Raden Prawoto )
Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat
tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara Kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak meniru cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda
dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan
jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam
Ia putra Dewi Saroh –adik
kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga.
Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal
terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun
berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat
terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik
internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Beliau dikenal sebagai pribadi yang
mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi
pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan
Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah
satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Sumber :
http://bloggersumut.net/sejarah-budaya/sejarah-sembilan-wali-walisongo-wali9
sumber image : http://abdigockil.wordpress.com/2009/12/11/cerita-wali-songo/
http://bloggersumut.net/sejarah-budaya/sejarah-sembilan-wali-walisongo-wali9
sumber image : http://abdigockil.wordpress.com/2009/12/11/cerita-wali-songo/